MAUMERE, KOMPAS — Sejumlah panti asuhan di Nusa Tenggara Timur mengalami kesulitan membiayai kebutuhan hidup bagi penghuni panti. Pengelola panti tidak tega membubarkan penghuni panti karena penghuni itu tidak memiliki orangtua atau bermasalah dengan kesehatan dan perawatan. Bantuan dinas sosial setempat pun terbatas.
Panti Asuhan Dymphna Maumere, Kabupaten Sikka, misalnya, sejak hampir satu tahun terakhir mengalami kesulitan dalam membiayai ratusan pasien sakit jiwa di panti itu. Hampir semua pasien berasal dari keluarga miskin dari sejumlah kabupaten di Nusa Tenggara Timur, bahkan dari Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Biarawati Katolik, Suster Lusi CIJ, di Maumere, Jumat (20/4/2018), mengatakan, Panti Asuhan Dymphna secara khusus menampung orang dengan gangguan jiwa, sakit jiwa, atau lebih sering disebut orang gila. Orang sakit jiwa ini berkeliaran di jalan-jalan, di emperan toko, dan tinggal di tumpukan sampah di sejumlah kota/kabupaten di Flores.
”Jumlah mereka saat ini 109 orang. Sebelumnya, tahun 2015, mencapai 300 orang, tetapi secara bertahap, satu per satu, mereka mulai pulih. Mereka yang sudah pulih memilih kembali ke orangtua atau anggota keluarga. Beberapa orang yang telah pulih bersama 34 tenaga perawat memilih menetap di Panti Dymphna,” tutur Lusi.
Penghuni Panti Dymphna membutuhkan beras setiap hari sebanyak 300 kilogram untuk makan pagi, siang, dan malam, biaya lauk-pauk minimal senilai Rp 300.000, termasuk sayur, dan bumbu.
Selain itu, setiap hari mereka butuh air tangki sebanyak tiga mobil, masing-masing 5.000 liter, untuk menyiram setiap kamar dan tempat tidur penghuni panti karena mereka membuang hajat di sembarang tempat di dalam ruangan. Air tangki ini pun dibeli dengan harga Rp 100.000 per tangki.
Selain itu, air juga untuk mencuci pakaian penghuni panti. Rata-rata setiap penghuni panti memiliki tiga pasang baju dan celana.
Untuk mengatasi kesulitan biaya hidup, sebagian pasien yang telah sembuh dan memilih bertahan di panti pun bekerja sebagai pembantu rumah tangga, mencuci pakaian di rumah-rumah warga.
Hasil dari pekerjaan itu dikumpulkan untuk membantu meringankan beban hidup di panti. Selain itu, mereka juga menjual makanan ringan, gorengan, dan keripik pisang atau singkong di depan panti.
Mereka datang diantar anggota keluarganya atau dipungut dijalan oleh Biarawati Lusi. Hampir seluruh masyarakat NTT dan luar NTT paham bahwa panti tersebut khusus menampung orang dengan gangguan jiwa.
”Kadang sopir-sopir bus lintas Flores menemukan orang sakit jiwa di jalan, entah di Larantuka, Ende, Mbay, Bajawa, Borong, Ruteng, atau Labuan Bajo. Mereka bawa (pasien) sampai di depan pagar, kemudian memanggil kami keluar untuk menerima mereka (pasien),” ujar Lusi.
”Ketika tiba pertama kali, kondisi pasien sangat memprihatinkan. Kaki atau tangan luka bernanah karena pasungan, badan berluka, tidak pernah mandi, rambut mirip ijuk, dan perilaku mereka sangat kasar, mendekati jahat,” tutur Lusi.
Bantuan donor
Adapun pengelola Panti Asuhan Roslin di Kabupaten Kupang, Budi Soehardi, mengatakan, panti asuhannya merawat dan menyekolahkan sekitar 450 anak yatim piatu dan anak jalanan. Untuk menghidupkan panti itu, semua penghuni pantai, terutama yang sudah bisa bekerja, diberikan pekerjaan merawat tanaman perkebunan di areal milik panti dan memelihara ternak.
Mantan pilot ini pun mencari dana melalui para donor dari dalam dan luar negeri serta membangun hubungan dengan sesama pilot di sejumlah tempat. Mereka membantu menghidupkan Panti Asuhan Roslin.
Sementara itu, salah satu pengurus Panti Asuhan Putra Aisyah Kota Kupang, Abdul Kahar, mengatakan, pihaknya selalu membutuhkan bantuan dari donor. Panti itu tidak bisa hidup dan bertahan tanpa bantuan donor.