Transportasi Sungai Kian Ditinggalkan
Transportasi sungai kini bukan lagi pilihan di Kota Seribu Sungai, julukan Banjarmasin. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, peranan sungai sebagai urat nadi transportasi sudah digantikan jembatan dan jalan beraspal.
Sabtu (14/4/2018), sekitar pukul 14.30 Wita, Kapal Motor Karmila 2 bertolak dari Dermaga Pasar Lima, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kapal angkutan penumpang dan barang itu berlayar menuju Negara, Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Jarak yang harus ditempuh lebih kurang 150 kilometer dengan menyusuri tiga sungai besar, yakni Sungai Martapura, Sungai Barito, dan Sungai Negara (Nagara). ”Kita diperkirakan tiba di Nagara besok (Minggu) sekitar pukul 11.00 atau 12.00 Wita. Ini karena muatan barang tidak terlalu banyak,” kata Syarifudin (38), juru mudi sekaligus pemilik KM Karmila 2, kepada Kompas yang ikut menumpang.
Itu artinya, waktu tiba kapal tersebut kemungkinan lebih cepat dua sampai tiga jam jika mengangkut barang mencapai minimal 80 ton. Saat bermuatan penuh, waktu tempuh kapal berkisar 20 jam sampai 21 jam.
Menurut Syarifudin, saat itu kapalnya hanya mengangkut barang sekitar 20 ton dari total kapasitas 100 ton. Barang yang diangkut sebagian besar adalah bahan kebutuhan pokok dan bahan bangunan. Namun, barang yang diangkut tidak pernah mencapai 100 ton. ”Sekarang, paling full hanya 80 ton. Itu pun semakin jarang,” ujarnya.
KM Karmila 2 adalah kapal kayu dengan dua dek dengan kapasitas 135 gros ton (GT). Dek bawah dikhususkan untuk barang, sedangkan dek atas untuk penumpang.
Saat berangkat dari Dermaga Pasar Lima, penumpang yang naik hanya 20 orang dari kapasitas 100 penumpang. Selama perjalanan, kapal itu menyinggahi sejumlah tempat untuk menurunkan sekaligus mengangkut penumpang dan barang.
Setelah satu jam menyusuri Sungai Martapura ke arah hilir, kapal masuk Sungai Barito dan menuju ke hulu. Selama menyusuri Sungai Barito, kapal beberapa kali menepi. Jelang tengah malam, dek penumpang pun sudah terisi sekitar 30 orang.
Dalam dek penumpang tidak ada kursi seperti yang biasa tersedia dalam kapal-kapal penyeberangan. Yang ada hanya ruang terbuka yang pada bagian lantai dibentangkan karpet plastik sebagai penutup papan. Tidak ada kasur ataupun tikar dan bantal bagi penumpang yang disediakan pengelola kapal. Penumpang yang tidur hanya berbantalkan tas atau barang bawaan.
Dalam dek penumpang seluas 60 meter persegi itu hanya disediakan satu televisi 32 inci yang bisa menyiarkan berita atau memutar film-film tertentu melalui DVD player. Namun, suara lagu selalu kalah dengan suara raungan mesin kapal.
Para penumpang juga diizinkan membawa bekal sendiri. Bagi yang tidak punya bekal, bisa membeli sejumlah makanan yang dijual di kantin kapal yang terletak di buritan kapal. Di belakang kantin tersedia tiga kamar kecil.
”Kalau kada (tidak) singgah-singgah, dari Banjarmasin ke Nagara paling hanya 12 jam. Tetapi, karena kami sering singgah, lama perjalanan bisa 20 jam lebih. Ongkos kapal sama untuk semua jarak tempuh, yakni hanya Rp 20.000 per orang,” ujar Syarifudin.
Minggu (15/4/2018) tepat pukul 11.40 Wita, kapal pun merapat di Dermaga Negara di Hulu Sungai Selatan. Itu berarti, lama perjalanan dari Banjarmasin hingga Negara mencapai 21 jam 10 menit dengan menyinggahi belasan lokasi.
Jika melalui jalur darat, jarak kedua kota yang mencapai 165 kilometer ini bisa ditempuh hanya sekitar 4 jam dengan tarif Rp 100.000 per penumpang. Itu sebabnya, dalam beberapa tahun terakhir banyak warga lebih memilih menggunakan jalur darat untuk perjalanan antarkota.
Dua kapal
Sekitar 10 tahun lalu, lintas sungai dari Banjarmasin-Negara merupakan jalur yang ramai. Saat itu minimal enam kapal berkekuatan minimal 150 GT melayani kedua kota itu. Belum lagi kapal-kapal kecil yang melayani rute pendek. Setiap hari kapal-kapal itu selalu terisi penuh, baik barang maupun penumpang.
Namun, sejak 2007, di mana jalan darat pun teraspal mulus, angkutan sungai juga mulai rontok. Rute Banjarmasin-Negara pergi pulang hanya dilayani dua kapal, yakni KM Karmila 2 dan KM Makhlufi. Dua kapal ini berlayar empat kali dalam seminggu, yakni Senin dan Jumat dari Negara menuju Banjarmasin, kemudian Selasa dan Sabtu dari Banjarmasin menuju Negara. Kedua kapal itu pun kini sudah berusia 10 tahun.
Menurut Syarifudin, semula kapalnya, yakni KM Karmila 2, melayani rute Banjarmasin-Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Namun, karena biaya operasionalnya tidak sebanding dengan pendapatan, sejak lima tahun lalu ia memutuskan pindah rute, yakni Banjarmasin-Negara.
”Untuk rute Banjarmasin-Negara, biaya operasionalnya tidak terlalu besar karena cukup dua drum solar (400 liter) untuk pergi pulang. Di samping itu, penumpang dan titipan barang juga masih cukup banyak sehingga sekali jalan masih bisa dapat penghasilan bersih rata-rata Rp 1 juta,” tuturnya.
Dengan usia hampir 10 tahun, kapal milik Syarifudin tergolong baru sebab KM Makhlufi sudah berusia di atas 20 tahun. Namun, tampak luar, dua kapal tersebut tak jauh berbeda. Catnya sudah kusam dan dinding-dindingnya mulai lapuk. Di dalam kapal juga minim peralatan keselamatan berlayar, seperti pelampung dan jaket.
Meski begitu, kapal masih diminati warga, terutama yang tinggal di pesisir sungai. Menggunakan kapal atau perahu dinilai lebih praktis dan ekonomis sebab bisa turun atau naik di depan rumah. Sebaliknya, menggunakan kendaraan darat harus melewati jalur yang lebih jauh. ”Hanya dengan Rp 20.000 sudah bisa sampai Banjarmasin. Kalau naik taksi, bisa Rp 100.000,” kata Murah (60), warga Desa Baru, Daha Barat, yang setiap bulan ke Banjarmasin untuk menengok anak bungsunya yang kuliah di Banjarmasin.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pelabuhan dan Penyeberangan Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin Imanuddin mengatakan, angkutan sungai masih tetap dibutuhkan, terutama oleh warga yang tinggal di pesisir sungai dan membawa banyak barang. ”Angkutan sungai yang tersisa sekarang kemungkinan masih bisa bertahan walau sudah tidak mungkin lagi berkembang,” katanya.
Bagi warga yang tinggal di pesisir sungai, bepergian dengan kapal masih menjadi pilihan utama jika tidak buru-buru. Meski waktu tempuhnya
lebih lama, perjalanannya lebih nyaman dan mengasyikkan. ”Kalau naik taksi (bus), saya pasti mabuk,” ujar Murah seraya berharap kapal terus beroperasi.
Di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, juga setali tiga uang. Sebelum tahun 2000, sungai ini selalu ramai dengan kapal penumpang dan barang. Tetapi, kini jalur sungai kian sepi. Warga lebih memilih jalur darat yang waktu tempuh lebih pendek.
Yuraidi (32), pemilik bus air, mengakui, jalur sungai bukan lagi menjadi pilihan warga untuk bepergian. ”Sekarang dapat 50 penumpang sudah bagus sekali,” ujarnya.
Sebelum tahun 2000, ada 22 trayek kapal bus air di Sungai Mahakam yang berangkat dari Dermaga Mahakam Ulu, Samarinda. Namun, kini tersisa empat trayek, termasuk Samarinda-Melak (325 km), yang sehari sekali. Tahun 2012 masih ada 57 bus air, kini 31 bus air.
Penumpang terus berkurang, satu per satu pemilik kapal gulung tikar. Segelintir yang bertahan. Yuraidi bertahan karena bertekad melanjutkan usaha ayahnya. Namun, diakui, semakin berat. Untuk biaya solar saja, sekali perjalanan (pergi pulang) Rp 8 juta.
Itu belum untuk mengupah dua anak buah. Dia bertahan karena masih ada muatan barang dan kerja serabutan. Karena itu, dia bisa mengumpulkan uang untuk biaya perbaikan. Kapal kayu yang dibeli tahun 2004 itu sempat ”mati suri” dua tahun. Habis puluhan juta.
Seti (54) mengenang masa kecilnya yang sering berdesak- desakan di kapal. ”Tahun 1980- an, kapal bisa empat kali sehari. Selalu penuh. Sejak tahun 2000, saya sering naik mobil, tetapi capek karena 9 jam. Aspal belum halus. Ya sudah, naik kapal dulu,” ujar warga Melak ini.