Berkali-kali diingatkan soal bahaya merkuri, tetapi tidak dihiraukan. Bisnis itu sepertinya begitu sulit dihentikan.
AMBON, KOMPAS - Kendati penegak hukum gencar memberantas pengolahan dan peredaran merkuri, aktivitas itu masih terus berlangsung dengan berbagai modus operandi. Bisnis merkuri menggiurkan dengan keuntungan besar mendorong orang untuk berani melanggar hukum dan merusak kesehatan diri dan lingkungan sekitarnya.
Hal itu disampaikan Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Merkuri Provinsi Maluku Komisaris Besar Gatot Mangkurat Putra kepada Kompas di Ambon, Jumat (20/4/2018). Kesimpulan itu mengemuka dalam temuan tim satgas dan hasil penyelidikan, penyidikan, hingga proses persidangan kasus merkuri.
Dari latar belakang pelaku, tersangka KR (36), pengolah merkuri yang ditangkap dengan barang bukti 57 kilogram pada Selasa (17/4/2018), dapat dijadikan contoh. Ia adalah buruh serabutan yang diduga dimanfaatkan pemilik modal besar. Ia diberi uang tunai serta peralatan penyulingan merkuri untuk menjalankan bisnis itu.
Merkuri diolah dari batu sinabar yang dibeli dengan harga sekitar Rp 80.000 per kg. Jika mereka membeli 100 kg sinabar, biaya yang dibutuhkan Rp 8 juta. Setelah diolah, 100 kg sinabar itu dapat menghasilkan sekitar 50 persen dari bahan baku atau sekitar 50 kilogram cairan merkuri.
Harga jual merkuri saat ini sekitar Rp 500.000 per kg. Artinya, dari hasil pengolahan itu, pelaku dapat meraup penghasilan kotor Rp 25 juta. Setelah dikurangi biaya operasional dan bahan baku, pelaku masih dapat meraup keuntungan hingga Rp 14 juta.
Proses pengolahan itu dapat dilakukan dalam waktu tak lebih dari satu minggu. Informasi tentang hitungan tersebut diperoleh Kompas dari mantan pengolah merkuri yang tidak mau disebutkan namanya. ”Mereka semata-mata mengejar keuntungan. Ini adalah motif ekonomi,” ujar Gatot menambahkan.
Komisaris Irvan Reza dari tim Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Maluku mengatakan, KR sudah memproduksi 1 ton merkuri dalam enam bulan terakhir. Artinya, KR sudah meraup keuntungan Rp 140 juta. ”Ini ada yang modali, tetapi tersangka belum mau terbuka,” ucap salah seorang perwira yang memimpin penangkapan KR itu.
Selain risiko hukum yang dijerat dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, para pengolah merkuri juga terkena risiko kesehatan. Mereka sangat mudah terpapar merkuri. Lingkungan sekitar juga rusak. Dalam kasus KR, pengolahan merkuri dilakukan di tengah hutan, jauh dari permukiman penduduk.
Selain di lokasi itu, daerah lain yang terkena dampak paling parah adalah lokasi tambang emas tanpa izin. Di tempat itu, merkuri digunakan untuk mengikat emas dari mineral lain. Di lokasi tambang emas liar Gunung Botak, Pulau Buru, misalnya, sejumlah anak sungai, hutan sagu, dan pekarangan rumah sudah tercemar.
Seperti diberitakan sebelumnya, kini hidup jutaan warga di sejumlah wilayah Indonesia terancam akibat paparan logam berat merkuri dari aktivitas pertambangan emas skala kecil. Meski pemerintah telah melarang penggunaan merkuri di sektor itu, penerapannya belum efektif (Kompas, 13/11/2017).
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Ajun Komisaris F Teddy berharap semua penegak hukum bersinergi dalam menangani perkara kepemilikan dan peredaran merkuri. Seperti perkara peredaran merkuri dengan tersangka LAT (22), sudah tiga kali jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Ambon mengembalikan berkas perkara itu.
LAT tertangkap membawa 55 kg merkuri pada 23 Desember 2017. ”Padahal, semua petunjuk jaksa sudah kami penuhi. Kami mendapat kabar bahwa kasus itu sudah diambil alih Kajari (Kepala Kejaksaan Negeri Ambon). Jaksa yang menangani itu sudah diganti,” kata Teddy. (FRN)