MAGELANG, KOMPAS — Segala sesuatu terkait rokok sering kali dibawa menjadi isu politik. Inilah yang kemudian membuat banyak kepala daerah mengurungkan niat untuk membatasi perokok dan membuat kawasan tanpa rokok di daerahnya masing-masing.
Demikian dituturkan Ketua Aliansi Bupati/Wali Kota Peduli Kawasan Tanpa Rokok Hasto Wardoyo, akhir pekan ini.
Menurut Hasto, segala kebijakan yang terkait rokok dipastikan akan berdampak pada penilaian atau pandangan masyarakat terhadap kepala daerah. Karena jumlah perokok cenderung mendominasi masyarakat yang ada di tiap daerah, kebijakan tersebut pada akhirnya akan memengaruhi pandangan orang terhadap kinerja kepala daerah dan memengaruhi keputusan politik masyarakat di pilkada selanjutnya.
”Kepala daerah yang berani menetapkan KTR (kawasan tanpa rokok), bisa jadi akan dinilai sebagai kepala daerah yang buruk dan mayoritas warga tidak akan lagi mendukungnya. Tidak heran, banyak kepala daerah yang baru satu periode menjalani jabatannya akan takut dan tidak berani menetapkan KTR,” ujarnya.
Saat ini, dari 416 kota/kabupaten di seluruh Indonesia, baru ada 111 kota/kabupaten yang berani menetapkan peraturan daerah (perda) dan mengatur KTR. Daerah yang sudah menjalankan KTR pun, sebagian di antaranya ada yang masih belum berani bersikap tegas. Ini ditunjukkan dengan menetapkan KTR, tetapi tetap memasang iklan atau reklame tentang rokok.
Kawasan merokok dan antirokok, menurut dia, memang sulit ditetapkan karena banyak orang yang merokok sebagai gaya hidup, terbiasa merokok seenaknya.
Di Indonesia, menurut Hasto, sebagian besar perokok berasal dari kalangan ekonomi lemah.
”Mereka, yang berasal dari kelompok masyarakat miskin bahkan kerap menjadikan rokok sebagai kebutuhan pokok nomor dua setelah beras,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Kesehatan Jawa Tengah Agus Tri Cahyono mengatakan, banyak daerah ragu menerapkan KTR karena mereka takut, khawatir akan kehilangan pendapatan dari pajak perusahaan rokok.
”Sebelum menetapkan KTR, pemerintah daerah pun sebelumnya harus berpikir perusahaan apa yang nantinya bisa menggantikan peran dan sumbangan perekonomian dari pabrik rokok terhadap daerah,” ujarnya.