KUPANG, KOMPAS — Sentra produksi tenun ikat khas Nusa Tenggara Timur dalam waktu dekat bakal dibangun di Kota Kupang. Gedung pusat tenun ikat ini untuk menampung kelompok tenun ikat di Kota Kupang yang belum memiliki tempat tenun yang layak. Tempat ini juga menjadi pusat pembelajaran keanekaragaman motif tenun dan pusat promosi wastra (kain tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri).
Wali Kota Kupang Jefrison Riwu Kore di sela-sela peninjauan pameran Hari Ulang Tahun Ke-25 Kota Kupang, Senin (23/4/2018), mengatakan, pemerintah kota telah mengalokasikan bantuan sarana dan prasarana berupa benang dan alat-alat tenun kepada 200 penenun di Kota Kupang. Bantuan ini diberikan kepada semua kelompok tenun yang memiliki motif tenun berbeda-beda.
”Mereka itu menenun di rumah masing-masing. Kami segera membangun Sentra Tenun NTT di Kota Kupang. Dengan ini, orang dari luar, terutama turis asing, mau lihat motif semua jenis tenun NTT bisa terwakili di situ. Di sini, hampir semua jenis tenun dari 22 kabupaten/kota sudah tersedia, tetapi proses pembuatan tidak banyak orang tahu,” kata Jefri.
Karena itu, di sentra tenun ikat memperlihatkan bagaimana ribuan motif dari 22 kabupaten/kota di NTT diproses. Setiap daerah menampilkan satu atau dua penenun di tempat itu.
Selama ini, kebanyakan orang hanya menyaksikan proses tenun dengan motif Rote Ndao dan Sabu Raijua di Kota Kupang, tetapi kabupaten lain belum banyak ditemukan di Kota Kupang.
Dengan adanya sentra tenun ini, turis asing, peneliti, dan pemerhati wastra nasional dan internasional jika ingin meneliti wastra Ngada tidak perlu pergi ke Ngada. Mereka cukup mendatangi sentra tenun di Kota Kupang.
Di sana, ada orang dari Ngada sedang menenun. Mereka menjelaskan arti dari setiap motif yang ada dari Ngada. Di tempat itu, diperkenalkan pula cara menenun, mulai dari proses pewarnaan, bahkan pemintalan benang sampai sebuah kain wastra terbentuk tuntas.
Sejarah tenun ikat dari setiap suku atau etnik diceritakan secara lisan dan juga disiapkan buku panduan setiap daerah (etnik). Namun, motif-motif tenun yang disampaikan kepada publik sebaiknya sudah terdaftar sebagai hak kekayaan intelektual dari daerah itu di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini untuk mengantisipasi penjiplakan motif-motif itu oleh orang lain.
Sentra Tenun Kota Kupang ini juga menampung hasil produksi tenun dari semua daerah di NTT. Setiap daerah atau suku memiliki keterwakilan wastra di dalam sentra tenun Kota Kupang ini.
Syariat Libana, perajin wastra Alor, mengatakan, sebaiknya Sentra Tenun Kota Kupang itu hanya menampung semua wastra NTT. Tempat itu tidak dijadikan untuk memproduksi, tetapi semacam ruang pamer (showroom) dengan menampilkan semua motif tenun dari semua etnik di NTT.
”Pusat produksi sebaiknya tetap di desa dan kecamatan sehingga ibu-ibu rumah tangga atau pelajar perempuan di daerah itu tetap memiliki keterampilan menenun. Kegiatan menenun ini juga menjadi sumber pekerjaan dan mata pencarian tersendiri bagi ibu-ibu rumah tangga di desa-desa,” kata Libana.
Ia mengatakan, peminat wastra dari luar NTT ingin menyaksikan langsung proses pembuatan wastra itu di daerah asal. Sebuah motif lahir selalu didasari pada tradisi adat, budaya, dan kehidupan masyarakat di daerah itu secara keseluruhan.
Jika masyarakat di daerah itu memiliki mata pencarian utama sebagai nelayan, akan muncul motif ikan. Jika mereka itu berburu, muncul motif rusa, burung, babi hutan, dan seterusnya. Motif sebuah kain mencerminkan budaya dan tradisi masyarakat di daerah itu.
Pemilik sanggar tenun Tana Tawa Sikka, Moat Kletus, mengatakan, sentra tenun seperti itu tidak hanya dibangun di Kota Kupang. Setiap pemerintah kabupaten di NTT seharusnya memiliki sentra tenun itu.
”Kabupaten Sikka saja ada ratusan motif tenun. Kaum ibu rumah tangga dan anak-anak perempuan yang tidak lanjut perguruan tinggi, hari-hari hanya menenun. Namun sayang, hasil tenunan mereka dipajang begitu saja di rumah-rumah, sementara mereka sangat butuh modal untuk menenun lebih lanjut,” kata Kletus.