Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kota Malang, persis setelah 18 anggota DPRD dan Wali Kota Malang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Apakah kunjungan kali ini kebetulan?
Kota Malang, Jawa Timur, belakangan, kalau boleh dibilang, telah menjadi beacon atau suar di antara kota-kota lain di Indonesia. Kali ini karena Presiden Joko Widodo kembali berkunjung ke ”kota apel” tersebut. Waktu kunjungan persis setelah 18 anggota DPRD Kota Malang dan Wali Kota Mochamad Anton dijerat (sebagian sudah ditahan) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus dugaan suap Rp 700 juta dalam pembahasan APBD-P Kota Malang tahun 2015.
Apakah antara kerja KPK dan kedatangan Jokowi sekadar kebetulan semata atau bukan? Semua orang boleh punya pendapat. Namun, setidaknya ada beberapa catatan bisa dijadikan pembelajaran.
Jika dilihat dari kacamata budaya Jawa, kedatangan Jokowi seakan menegaskan dan membenarkan tindakan KPK. Bahwa, Jokowi mendukung kerja KPK dalam menggulung belasan pejabat Kota Malang yang terlibat suap. Ingat, orang Jawa berbicara tidak hanya dalam bahasa tutur, tetapi juga bahasa simbol. Budiono Herusatoto dalam bukunya, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (1983), menyebut bahwa budaya Jawa penuh dengan kembang (bunga-bunga), lambang, dan kiasan.
Hal pertama bisa dicatat adalah (seakan) Jokowi mendukung pemberantasan korupsi. Tidak ada orang korup (meski jumlahnya berombongan), bisa lepas dari jerat hukum. Padahal, bisa jadi ongkos memperkarakan belasan orang (di Sumut bahkan puluhan orang) tersebut lebih besar dari nilai yang diselewengkan. Namun, penegakan hukum tetap harus jalan agar korupsi (dan sejenisnya) tidak dianggap banal (wajar).
Secara kasatmata terlihat bagaimana senyum Jokowi saat berbicara di Universitas Islam Malang (Unisma) beberapa waktu lalu. Mimik wajahnya jauh berbeda dengan saat kedatangannya pada acara Rakernas Apeksi 2017. Saat itu Jokowi justru lebih banyak mengkritik kepala daerah agar mau berubah, kreatif, dan tidak bekerja apa adanya.
Revolusi mental
Catatan kedua adalah revolusi mental terus dijalankan, kali ini melalui evolusi-revolusi kepartaian. Pemerintah (KPK) dengan setengah memaksa tampaknya ingin mengajak partai politik untuk menata ulang kelembagaannya, mulai dari sistem pengaderan hingga memilih calon yang nanti akan duduk di dewan.
Lihat saja, dari 19 tersangka suap anggota DPRD Kota Malang yang sudah diproses KPK, hampir merata di semua parpol yang memiliki kursi di dewan. Kader PDI-P terjaring 4 dari 11 kadernya di dewan, Demokrat terjaring 3 dari 5 orang, PKB terjaring 4 dari 6 orang, Golkar terjerat 3 dari 5 orang, PAN terjaring 2 dari 4 orang, Gerindra 1 dari 4 orang, PPP terjaring 1 dari 3 orang, dan Hanura-PKS terjaring 1 dari 6 orang. Jumlah anggota DPRD Kota Malang adalah 45 orang.
Bisa dibilang satu ”gelombang penyidikan” KPK sukses menggulung muka-muka lama anggota dewan. Artinya, sudah saatnya parpol berpikir mencari pengganti kader-kader muda yang diharapkan tidak lagi terkontaminasi ”penyakit” suap serupa.
Aksi tegas KPK itu seakan juga menunjukkan kepada para wakil rakyat bahwa jangan hanya ribut minta dihormati jika memang perilaku sebagian mereka belum bisa dihormati (UU MD3).
Lalu, apa pentingnya bagi warga Kota Malang—yang pada 1 April 2018 merayakan HUT Ke-104? Tentu kasus ini seharusnya menjadi pembelajaran berharga. Tidak hanya untuk wakil rakyat, pemerintah daerah, tetapi juga untuk masyarakat luas. Bahwa, suap dan korupsi harus dibasmi dan jangan terjadi lagi.
Suasana Kota Malang pun tidak ada gaduh-gaduhnya. Orang tetap beraktivitas seperti biasa, tetap nongkrong dan ngopi di warung pinggir jalan (sambil rasan-rasan atau bergunjing), dan aktivitas secara umum tetap berjalan seperti biasa. Yang heboh hanya penjual koran pagi. Mereka repot melayani pembeli, yang hari itu ramai-ramai membeli koran.
Sepertinya warga Kota Malang sadar bahwa tanpa para tersangka hidupnya akan terus berjalan. Kecewa, iya. Namun, wali kota dan anggota dewan hanya menjadi tukang stempel dan tanda tangan yang melayani kebutuhan warganya. Mereka tak bisa menghentikan roda kehidupan Kota Malang.
Teori Ilmiah
Kera ngalam (arek Malang atau orang Malang) adalah orang kuat sejak lahir. Sebagai warga dataran tinggi, teori ilmiah menyebutkan, orang Malang memiliki keterbatasan untuk sekadar bernapas.
Hukum gravitasi membuat oksigen (lebih berat dari gas lain) cenderung berada di bawah dan bergerak ke
tempat rendah. Daerah dataran rendah akan lebih banyak oksigen dibandingkan dengan daerah dataran tinggi seperti Malang.
Namun, meskipun jumlah oksigennya tidak sebanyak dataran rendah, oksigen di dataran tinggi akan selalu mencukupi. Itu karena ada panas matahari yang akan memuaikan udara. Saat udara memuai, udara terangkat ke atas dan tempatnya diisi oleh udara dingin dari tempat lain.
Di sini terjadilah sirkulasi udara karena oksigen ada di dalamnya. Itu sebabnya, kera ngalam tidak pernah kekurangan oksigen selama ada panas matahari.
Jadi, kalau bernapas saja orang Malang butuh perjuangan, lalu untuk ”goyangan kecil” kasus suap seperti ini saja, apa warga Malang akan menyerah? Saya rasa tidak. Terus berkembang Kota Malang meski kado ulang tahunmu kali ini pahit. (Dahlia Irawati)