Menggali Semua Potensi Ekonomi Desa
Ada replika buah semangka di gerbang masuk Desa Latukan, Kecamatan Karanggeneng, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Replika itu seolah ingin menunjukkan bahwa semangka menjadi produk unggulan desa berpenduduk 5.000 jiwa itu. Desa ini juga memiliki aneka camilan mulai dari keripik, jenang, hingga es krim.
Badan usaha milik desa Latukan mengelola pelayanan air bersih, pasar desa, hingga memasarkan produk usaha kecil menengah, termasuk olahan dari jantung pisang. Bukan itu saja, ada juga pengelolaan bantuan ternak bergulir serta jasa servis (perbaikan) dan sewa alat produksi pertanian, termasuk mesin tanam, mesin panen, dan traktor.
Potensi Latukan yang terkenal ialah semangka kuning dan semangka merah. Rasanya lebih manis dan segar. Saat kemarau areal tanaman semangka (Citrullus lanatus) mencapai 374,452 hektar. Kepala Desa Latukan M Jiono mengatakan, itu jauh di atas blewah (garbis) yang luasnya hanya 5 hektar.
Dulu, Desa Latukan termasuk daerah sulit air bersih. Sumur warga biasanya mengering saat musim kemarau. Kini, warga tidak lagi khawatir soal air bersih setelah kehadiran Himpunan Pemakai Air Minum (Hipam) semacam Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di tingkat desa yang mengelola air bersih untuk disalurkan kepada warga.
Sumber air berasal dari air bawah tanah (ABT) dan dari Bengawan Solo yang diolah di instalasi penjernih air (IPA). Air dari sungai itu ditampung di penampungan mirip kolam air, lalu diolah di IPA, dan dinaikkan ke tandon, baru dialirkan ke rumah-rumah warga. Warga membayar Rp 1.200 per meter kubik (m3). BUMDes mendapatkan Rp 1,25 juta atau 10 persen dari omzet per bulan.
Pasar desa
Pasar Desa Latukan pun lebih menggeliat lagi. Di sana ada 67 lapak pedagang kecil dengan retribusi Rp 500 per pedagang. Sementara empat stan kios disewakan. Bendahara Pasar Desa Latukan, Ananto Yudhi Saputro, mengemukakan, hasil retribusi dan pinjaman berkontribusi ke pendapatan desa Rp 3 juta per bulan.
Pinjaman modal dibatasi maksimal Rp 3 juta diperuntukkan bagi 200 pedagang dan masyarakat sekitar, khususnya pelaku usaha kecil dan menengah. Peminjaman modal harus sepengetahuan suami/istri. Modal dikembalikan dalam jangka waktu 110 hari.
Saat ini, nilai aset pasar mencapai Rp 110 juta. Kredit macet mencapai Rp 30 juta karena awalnya lemah administrasi. Satu peminjam menggunakan lebih dari satu nama sehingga menyulitkan penagihan dan jumlah pinjaman melebihi plafon maksimal.
BUMDes juga membuka layanan jasa memasarkan UMKM di desa. Produk masyarakat dipajang di etalase kantor BUMDes di samping balai desa. Tamu bisa membeli produk unggulan desa, salah satunya makanan olahan berbahan baku jantung pisang, atau biasa disebut ontong pisang
Pembuat makanan berbahan baku ontong pisang, Zuhroni Yazid, menuturkan, ide itu berawal dari banyaknya jantung pisang, yang terbuang sia-sia, paling umum hanya dibuat sayur. Ia berkreasi membuat makanan olahan berupa keripik, kerupuk, bakso goreng, abon, jenang, sosis, abon, puding, ontong krispi, nugget, hingga es krim. ”Jantung pisang punya serat tinggi sehingga baik untuk tubuh,” katanya.
Ia menyebut 10 jantung pisang bisa diolah menjadi 1 kilogram keripik. Ia berharap, produk olahan itu bisa menggerakkan ekonomi warga Latukan dan penganan baru itu menembus pasar lebih luas secara nasional karena keunikannya. Menurut Direktur BUMDes Sumber Rezeki Desa Latukan Agus Syafi’i, terobosan baru itu perlu dikembangkan. Inovasi itu perlu didukung dan difasilitasi. ”Sementara ini, kami konsentrasi ke pemasaran sehingga nanti bisa prospek dan dikenal oleh masyarakat,” katanya.
BUMDes memasarkan produk baru sebatas di desa sekitar dan berencana memperluas area pemasaran ke kota/kabupaten sekitar Lamongan. Produk UMKM baru dipasarkan di warung, sekolah, dan diikutkan dalam pameran dengan ontong pisang sebagai produk unggulan.
Alat pertanian
Kepala Desa Latukan M Jiyono berharap, produk unggulan UMKM itu mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Ia ingin, selain ontong pisang, keripik gayam, kerupuk, songkok, dan bordir bisa menjadi unggulan Lantukan. Makanan olahan dari ontong pisang diharapkan meningkatkan ekonomi pedesaan.
Gabungan kelompok tani (gapoktan) juga mengelola alat pertanian yang disewakan untuk pengolahan lahan (traktor), mesin tanam (plantation), dan mesin panen (combine harvester). Teknisi bagian servis, Khamid, mengutarakan, pengelolaan alat produksi pertanian itu memberikan kontribusi Rp 33 juta untuk desa setahun atau 20 persen dari omzet jasa sewa dan servis.
Gapoktan pada 2016 juga ikut menginisiasi berdirinya Asosiasi Pembenihan di Kecamatan Karanggeneng. Bahkan, tim di bengkel juga berinovasi membuat alat pembasmi tikus mirip alat pengasapan (fogging).
Pemerintah bersama warga Desa Latukan mempunyai cara unik mengendalikan populasi hama tikus. Ada imbalan bagi warga yang bisa menangkap tikus, Rp 1.500 per ekor. Cara itu lebih aman dibandingkan dengan menggunakan setrum (aliran listrik) karena bisa membahayakan pemilik sawah dan warga lain yang melintas.
Ada juga warga yang menggunakan racun atau kompresor serta menyertakan anjing untuk berburu atau gropyokan tikus. Cara yang bijak dan ramah lingkungan ialah dengan membuat rumah untuk burung hantu di sawah-sawah.
Saat ini, ada 21 lokasi rumah burung hantu. Selain itu, ada larangan berburu ular sebagai musuh alami tikus, selain burung hantu. ”Kami juga memberlakukan larangan menembak burung,” kata Sekretaris Desa Latukan Arif Nur Hidayat.
Pemerintah Desa Latukan tidak semata-mata mengejar pendapatan desa, tetapi juga mengupayakan pemberdayaan dengan pinjaman ternak. Secara bisnis upaya ini tidak menguntungkan, tetapi lebih ke upaya pemberdayaan masyarakat.
Pada 2016, pinjaman ternak kambing mencapai Rp 52,5 juta, satu orang mendapat Rp 3,5 juta tersebar di 15 RT masing-masing satu orang. Dana yang kembali hanya 80 persen. ”Kambingnya dibeli sendiri oleh warga Rp 2 juta per ekor, kurangnya ditambah sendiri,” kata Riyanto, pengurus unit dan operasionalisasi.
Di Latukan tercatat ada 85 peternak sapi potong, 55 peternak kambing. Desa yang berumur lebih dari 500 tahun itu juga mempunyai potensi perikanan air tawar dengan komoditas ikan mujair 2,4 ton, lele 1 ton, dan bandeng 13 ton per tahun.
Kucuran dana desa turut membantu mengerakkan ekonomi warga baik untuk pembangunan infrastruktur maupun ekonomi. Pada 2015, dana desa untuk Latukan Rp 283 juta, tahun 2016 Rp 634 juta, dan 2017 mencapai Rp 809 juta. Berkat dana desa dan inovasi warga, kesejahteraan terus menggeliat.