Rantai Panjang Jalur Perdagangan
Rantai perdagangan kopi di banyak daerah masih menyisakan beragam persoalan. Dimulai dari besarnya kuasa tengkulak hingga keterbatasan akses pasar bagi petani. Kondisi itu menyebabkan petani sulit sejahtera.
Patola (45), petani kopi di Desa Benteng Alla Utara, Kecamatan Baroko, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, tak menyangka kopinya ditolak. Berbagai cara telah dicoba, termasuk menemui langsung direktur perusahaan terbesar di wilayah itu. Sang direktur menyatakan minatnya terhadap kopi para petani, tetapi tak bisa membelinya secara langsung. ”Saya diminta untuk menjual kopi lewat perantara,” ungkap Patola, Januari lalu.
Awalnya petani berharap mendapatkan harga jual yang lebih baik jika kopi dijual langsung ke perusahaan. Jamak diketahui, perusahaan berani membeli kopi dengan harga tinggi. Penolakan itu akhirnya menyematkan kegusaran bagi petani Enrekang.
Sulaiman Miting, pegiat kopi dan pemilik kafe di Kabupaten Tana Toraja, mengalami kasus serupa. Dia menggambarkan, saat musim panen, gerbang masuk kantor salah satu pabrik setempat ramai dipadati pengepul. Ketika petani datang, mereka tidak bisa langsung menjual ke perusahaan, namun harus memasok kepada pengepul yang telah menunggu.
Rantai niaga kopi arabika Enrekang dan Toraja juga dikuasai tengkulak. Hasil kopi dari desa biasanya mereka beli. Barulah kopi dijual kepada pedagang yang lebih besar lagi di tingkat kecamatan. Dari pedagang besar di tingkat kecamatan, kopi disetor kepada pedagang besar skala kabupaten. Mereka ini yang biasanya mengirim kopi kepada para eksportir atau pedagang lintas pulau di Makassar.
”Saya pernah menjual langsung 5 ton kopi gabah kepada pedagang di tingkat kabupaten. Saya langsung dimarahi para pengepul di kecamatan. Katanya, saya bisa merusak pasar,” ucap Patola, yang juga pendiri Koperasi Petani Kopi Benteng Alla Utara, Enrekang.
Anehnya lagi, jika menjual kopi langsung kepada pedagang besar, biji gabahnya dihargai lebih murah Rp 1.000 per kilogram (kg) ketimbang jika menjual lewat pengepul. Semisal, gabah yang dihargai Rp 20.000 per kg di pengepul hanya dibeli Rp 19.000 per kg jika dijual langsung kepada pedagang tingkat kabupaten.
Wasliyudin, petani Dusun Patekkong, Desa Buntu Sarong, Kecamatan Masalle, Enrekang, menuturkan, kuasa tengkulak dimulai sejak tingkat hulu, bahkan sebelum petani mulai menanam. Banyak tengkulak masuk-keluar sentra kopi menawarkan pinjaman uang dalam jumlah besar kepada petani. Iming-iming uang kelak dibalas dengan penyerahan hasil kopi sewaktu panen dengan harga yang telah ditentukan tengkulak.
Biasanya, untuk lahan sekitar 1 hektar, tengkulak meminjamkan uang Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Nanti, saat panen, hasil kopi dari petani akan dihargai separuh lebih murah ketimbang harga pasaran.
Para tengkulak lebih banyak ”berkeliaran” di sekitar kebun kopi pada awal masa panen. Mereka biasanya kaki tangan pedagang besar. Mereka turun mobil dengan menenteng tas kecil, lalu memamerkan uang di dalam tas sambil berteriak kepada petani, ”Hari ini saya bawa uang banyak. Yang mau uang tunai langsung jual kopi ke saya.” Kalau sudah lihat uang tunai dalam jumlah besar seperti itu, kebanyakan petani tak akan berpikir lama untuk menjual buah kopi dengan sistem borongan yang harganya cenderung lebih rendah.
”Ini, kan, tidak sehat, seperti jaringan mafia. Mereka mengendalikan perdagangan dari hulu hingga hilir,” ujar Patola.
Monopoli itu juga terjadi di berbagai pelosok Nusantara. Deni, pilot Trigana Air yang bertugas menerbangkan pesawat ke daerah pedalaman di Papua, mengatakan, di tingkat petani, harga biji gabah dihargai Rp 10.000 per kg, sedangkan biji beras Rp 15.000-Rp 20.000 per kg. Harga itu sama rendahnya ketika infrastruktur pedalaman belum dibangun.
Petani tak dapat mengendalikan harga. Jalur perdagangan dan harga kopi sepenuhnya dikuasai para pedagang besar. Seorang pedagang besar di Wamena, misalnya, menampung biji gabah petani dengan harga Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per kg, lalu menjualnya dalam bentuk biji beras ke Jayapura dan Timika dengan harga hingga Rp 80.000. Pedagang mendapatkan selisih keuntungan bersih minimal Rp 10.000 per kg. Di Jayapura, harga kopi bubuk sekitar Rp 500.000 per kg. Di Jakarta, harganya lebih mahal lagi.
Seleksi ketat
Panjangnya jalur distribusi kopi diakui M Jabir Amien, direktur administrasi sekaligus juga juru bicara dari PT Toarco Jaya. Dia mengatakan, Toarco memberlakukan syarat dan seleksi ketat. Tahapannya mulai dari petani hingga perantara. Merekalah orang-orang kepercayaan Toarco. Pedagang perantara memasok kopi dari petani ke Toarco. Kopi harus melalui uji rasa.
Jika layak, barulah Toarco membeli. Soal seleksi ketat, perusahaan beralasan, hal ini bentuk tanggung jawab sekaligus janji kepada konsumen. Kopi Toraja adalah soal selera. ”Bagi kami, menjaga kualitas adalah hal utama,” kata Jabir. Upaya itu efektif menjaga kepercayaan pasar.
Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Hasanuddin, Makassar, Halide mengemukakan, rantai perdagangan kopi yang panjang melemahkan posisi tawar petani. Karena itu, petani sebaiknya tak lagi menjual kopi tanduk, melainkan biji beras. Untuk memperkuat kelembagaan petani perlu dibentuk koperasi atau unit usaha bersama.
Di Jawa dan Bali, akses pasar relatif lebih mudah ditembus dengan sejumlah upaya. Petani di Dampit, Malang, Jawa Timur, mengakali monopoli tengkulak dengan mendirikan koperasi sejak 2015. Koperasi dibentuk untuk memperkuat posisi tawar petani. Petani bersepakat menjual kopi ke koperasi. Harga di koperasi sama bagi setiap petani. Harga kopi robusta mencapai Rp 50.000 per kg.
Jika ada pedagang datang, biasanya petani menolak untuk menjual kopi. ”Kami tak mau walau harganya lebih mahal. Kami sudah pernah merasakan jual kopi mahal, namun mereka beli hanya sekali,” kata Suherman, petani asal Dampit.
Litbang Kompas mengkaji, sektor hulu kopi menerima distribusi ekonomi paling kecil. Padahal, proses pascapanen berperan paling besar dalam menentukan kualitas dan cita rasa kopi.
Di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, dan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, harga biji gabah kopi arabika Rp 13.000-Rp 20.000. Untuk menghasilkan secangkir kopi rata-rata dibutuhkan 18-20 gram biji sangrai. Pada proses pengolahan menjadi biji beras, bobot gabah kopi susut 20 persen. Susut pula 20 persen dalam proses sangrai. Berarti butuh 1,44 kg gabah untuk menghasilkan 1 kg bubuk kopi. Artinya, secangkir kopi nikmat bermula dari 30 gram gabah kopi yang dihasilkan petani. Jika secangkir kopi arabika di kedai kopi Rp 20.000, nilai yang diterima petani hanya 2 persen atau Rp 300.
Policy Advisor Kementerian Koordinator Perekonomian Lin Che Wei mengatakan, pemerintah tidak dapat mencampuri persoalan panjangnya mata rantai kopi. Namun, pihaknya mendorong tumbuhnya e-commerce yang menjangkau pedalaman. Konsumen dapat memesan kopi dari pelosok mana pun melalui jejaring internet. Infrastrukturnya sudah siap tahun 2019. Kopi dari pedalaman mana pun bisa diakses tanpa harus melalui mata rantai yang panjang lagi,” katanya. (REN/GRE/ITA/FLO/DIA/NIT)