Tak lama lagi kereta ringan (LRT) beroperasi di Kota Palembang. Namun, sejauh ini tata ruang transportasi massal belum tersusun. Untuk itu, perlu ditata ulang agar LRT lebih optimal.
PALEMBANG, KOMPAS - Fasilitas kereta ringan (light rail transit/LRT) akan menjadi poros baru transportasi massal di Palembang, Sumatera Selatan. Karena itu, pemerintah diharapkan menata ulang sistem transportasi yang ada agar dapat disesuaikan dengan infrastruktur LRT.
Pengamat transportasi Palembang, Syaidina Ali, yang mantan Kepala Dinas Perhubungan Kota Palembang, Rabu (25/4/2018), mengatakan, ”LRT akan menjadi pusat transportasi massal Palembang. Dengan begitu, semua moda transportasi pendukung harusnya diarahkan ke LRT.”
Menurut Syaidina, tata ruang transportasi di Palembang belum disesuaikan dengan fasilitas LRT saat ini. Sebagai contoh, belum ada sarana parkir yang memadai bagi masyarakat apabila menggunakan LRT. Selain itu, belum tersedia halte atau rambu yang dibangun dekat stasiun LRT. Hal ini tentu akan menyurutkan niat warga menggunakan LRT.
Untuk itu, lanjut Syaidina, baik Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan maupun Pemerintah Kota Palembang perlu membuat kajian terkait dengan moda transportasi pendukung, termasuk infrastrukturnya. ”Apabila hal tersebut tidak dipertimbangkan, LRT malah akan menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Setelah semua infrastruktur dirasa memadai, tahapan selanjutnya adalah membuat regulasi agar masyarakat mau menggunakan fasilitas ini. Seperti menerapkan larangan penggunaan kendaraan pribadi di sejumlah titik kemacetan atau bahkan melarang mobil dari luar Kota Palembang masuk, terkecuali menggunakan fasilitas LRT. ”Namun, semua tahapan ini membutuhkan proses,” ucapnya.
Perlu sosialisasi
Pengamat sosial dari Universitas Sriwijaya, Alfitri, mengatakan, keberadaan LRT memang menjadi simbol kemajuan sebuah kota. Namun, di sisi lain, moda transportasi ini akan menimbulkan kejutan bagi masyarakat Palembang. Ambil contoh dalam proses transaksi, akan ada perubahan pola dari yang semula dilakukan secara manual berubah menjadi digital.
Bagi masyarakat, ini adalah skema baru. ”Untuk itu, pemerintah diharapkan dapat terus melakukan sosialisasi dan edukasi secara berkelanjutan agar warga terbiasa menggunakannya,” ujarnya.
Selain itu, menurut Alfitri, agar moda ini diminati, pemerintah juga diharapkan mampu mengintegrasikan LRT dengan moda transportasi lain. Yang terpenting adalah dapat menjangkau hingga ke permukiman penduduk. Apalagi saat ini, jalur LRT masih berada di pusat bisnis dan belum menjangkau ke tempat tinggal masyarakat. Satu-satunya jalan adalah meningkatkan jaringan/koridor LRT itu sendiri.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat menerima dua rangkaian kereta LRT dari PT Industri Kereta Api di Pelabuhan Boom Baru, Palembang, Jumat (20/4/2018) lalu, mengatakan, pemerintah mengeluarkan subsidi perintis sebesar Rp 194 miliar untuk operasional LRT, termasuk untuk menentukan tarif LRT pada awal pengoperasiannya, Juli 2018.
Rp 5.000 per orang hingga rute tertentu. Namun, apabila penumpang sampai ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, tarif sekitar Rp 20.000 per orang. Tarif berlaku hingga akhir tahun 2018.
Satu rangkaian kereta mampu menampung sekitar 350 sampai 534 penumpang dengan waktu tempuh dari Bandara SMB II Palembang menuju Jakabaring sekitar 40 menit. Kereta akan datang setiap 20 menit sekali. Saat ini pembangunan jalur mencapai 89,1 persen.
Sekretaris Daerah Sumatera Selatan Nasrun Umar menambahkan, pemerintah akan membuat perda agar keberadaan aset LRT tetap terjaga. ”Di dalam kereta terdapat kamera pengintai. Bagi siapa yang merusak fasilitas di dalam kereta, akan terus dicari dan dikenai sanksi,” katanya.
Pembangunan LRT saat ini hanya menjadi awal. Pemerintah selanjutnya diharapkan dapat melanjutkan lagi dengan membangun koridor baru. (RAM)