BANJARMASIN, KOMPAS - Produk tambang, terutama batubara, masih menjadi penopang utama ekspor Kalimantan Selatan. Pada 2017, realisasi nilai ekspor naik 29,06 persen dibandingkan dengan nilai ekspor tahun sebelumnya. Tahun ini, nilai ekspor diprediksi naik lagi seiring membaiknya harga batubara.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perdagangan Provinsi Kalsel Riaharti Zulfahani menyampaikan, realisasi nilai ekspor Kalsel naik dari 6,28 miliar dollar AS (2016) menjadi 8,11 miliar dollar AS (2017). Dari jumlah tersebut, produk batubara memiliki kontribusi paling besar, yakni 31,98 persen.
”Kenaikan nilai ekspor itu juga ditunjang karet, kelapa sawit, dan kayu. Namun, produk yang paling dominan masih batubara. Itu seiring membaiknya harga batubara,” kata Riaharti di Banjarmasin, Rabu (25/4/2018).
Produk batubara dari Kalsel diekspor ke sejumlah negara. Ada 39 negara yang menjadi tujuan ekspor batubara.
Menurut Riaharti, kenaikan nilai ekspor pada 2017 masih berpotensi naik pada 2018 karena harga batubara masih tinggi. Harga batubara acuan (HBA) untuk Februari 2018 ditetapkan pemerintah sebesar 100,69 dollar AS per ton.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalsel Herawanto mengemukakan, perekonomian Kalsel pada triwulan I-2018 berpeluang tumbuh meningkat dari triwulan sebelumnya karena didukung peningkatan ekspor, konsumsi pemerintah, dan konsumsi rumah tangga. Pendorong utama adalah sektor pertambangan, sektor pertanian, perdagangan, hotel, dan restoran.
Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, Arief Budiman, batubara masih menjadi primadona untuk menopang perekonomian Kalsel. Namun, kenaikan harga batubara saat ini baru menunjang perekonomian makro dan belum berdampak langsung kepada masyarakat.
”Membaiknya sektor pertambangan tidak memberikan multiplier effect. Peningkatan harga dan ekspor batubara tidak menyentuh warga. Hal itu terlihat dari lesunya bisnis indekos, properti, dan laundry di daerah pertambangan. Jadi, yang menikmati hanya kontraktor besar dan pemerintah,” katanya.
Arief melihat, peningkatan ekspor pertambangan itu justru membuat pemerintah provinsi terlena di zona nyaman. Pemprov melupakan sumber pendapatan alternatif yang memberikan multiplier effect, misalnya sektor pariwisata. Hampir tidak ada gebrakan besar untuk menjadikan Kalsel sebagai destinasi wisata dalam program Kementerian Pariwisata.
Di samping itu, ungkap Arief, masih ada produk lain yang potensial dikembangkan untuk ekspor. Masyarakat bisa didorong membuat produk turunan hasil alam, misalnya kayu manis, gaharu, dan madu. ”Pemprov semestinya berpikir ke arah sana karena potensi itu belum digarap dengan baik,” ujarnya. (JUM)