JAKARTA, KOMPAS - Indonesia harus masuk ke pasar kopi konsumsi dunia untuk bisa mendongkrak nilai jual kopi petani. Selama ini, kopi yang diproduksi Indonesia hanya dijual dalam kondisi mentah atau greenbean. Nilai tambah dari kopi mentah menjadi kopi konsumsi tidak dinikmati Indonesia.
Hal itu menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Diskusi dan Peluncuran Buku Peta Jalan (Roadmap) Kopi yang bertema ”Arah Kebijakan Kopi Indonesia Menghadapi Tantangan Kompetisi, Perubahan Iklim, dan Kondisi Kopi Dunia”. Diskusi itu diadakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kamis (26/4/2018), di Jakarta.
Diskusi menampilkan pembicara Lin Che Wei, penasihat kebijakan Menteri Koordinator Perekonomian; Mulyono Soesilo dari Asosiasi eksportir dan Industri Kopi Indonesia, Setra Yuhana dari Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, Adi Haryono dari Dewan Kopi Indonesia; Bambang, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian; dan Hadi Daryoto, penasihat Men-teri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat membuka acara mengatakan, saat ini nilai perdagangan kopi konsumsi dunia mencapai 240 miliar dollar AS. Adapun nilai dari perdagangan kopi produksi hanya 24 miliar dollar AS. Indonesia saat ini masih menjual kopi mentah sehingga besarnya kopi konsumsi tidak banyak dinikmati. Negara yang menikmati nilai besar dari kopi konsumsi justru negara-negara Eropa. ”Kopi adalah komoditas lama. Dia bisa hilang ditelan zaman jika tidak diurus. Karena itu, butuh strategi mengurus kopi. Salah satunya dengan membuat peta jalan ini,” ujar Darmin.
Lin Che Wei menilai, saat ini ada kelebihan suplai kopi dunia. Harga kopi dunia tak banyak beranjak. Adapun pemerintah masih terpaku untuk memompa produksi biji kopi. Jika total produksi terus dipaksakan naik tanpa membenahi sektor lain, malah akan memicu penurunan harga kopi. ”Bayangkan menambah produksi di tengah kondisi pasar yang over supply. Petaninya yang sengsara,” katanya.
Salah satu cara agar petani bisa mendapatkan nilai lebih dari produksi kopi ialah dengan masuk ke pasar konsumsi. Pasar konsumsi ialah yang menjual kopi tidak dalam bentuk mentah, tetapi jadi. Petani bisa melakukannya langsung dengan bantuan penjualan online. ”Ali Baba sudah membuktikannya. Mereka menjual barang dari desa di pedalaman. Kopi bisa demikian. Kalau petani bisa mengirim kopi dalam waktu 4-5 hari, kopi sangrai bisa jadi pilihan,” katanya.
Setra menambahkan, petani juga bisa bermain dalam kopi spesialti. Dengan memanfaatkan keunikan kopi, petani bisa mendapatkan nilai lebih.
Kemenko Perekonomian, ujar Lin Che Wey, telah menyiapkan dua jalur strategi pengembangan kopi, yakni kopi spesialti yang unik dan kopi yang berbasis massal untuk industri.
Adi Haryanto dari Dewan Kopi Indonesia menegaskan, pasar domestik pun besar. Dengan perkembangan penduduk yang tinggi dan kenaikan pendapatan per kapita, pasar kopi tetap besar di dalam negeri. Strategi bisnis juga perlu dikenalkan kepada petani. ”Selama ini petani hanya mendapatkan ilmu berkebun, tetapi tanpa diperkaya dengan ilmu bisnis,” ujar Adi.(NIT/ITA/JAN)