SURABAYA, KOMPAS — Komunitas penerima penghargaan Kalpataru yang jumlahnya sekitar 300 orang sebaiknya diorganisasikan, dikumpulkan, dan diberi panggung. Negara sangat membutuhkan mereka dalam bentuk kekayaan pengetahuan, semangat, dan kegigihan memecahkan problem lingkungan untuk kepentingan kemanusiaan.
”Beri mereka panggung, lalu siapa yang berhasil menemukan air, ajak ke daerah yang kekurangan air, atau sulit air, misal di Nusa Tenggara Timur, lalu tularkan pengalamannya,” kata Megawati Soekarnoputri, Ketua Yayasan Kebun Raya Indonesia di Surabaya, Sabtu (28/4/2018).
Komunitas penerima penghargaan Kalpataru berkumpul di Surabaya selama dua hari, 27-28 April, pada acara Sarasehan Penerima Kalpataru yang diselenggarakan sejumlah lembaga, di antaranya Yayasan Kebun Raya.
Megawati hadir didampingi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, serta mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Alexander Sonny Keraf.
Tidak semua penerima anugerah Kalpataru bisa ditemukan. Saat ini yang hadir ada 90 orang, yang kemudian diberi kesempatan saling membahas problem yang dihadapi di wilayah masing-masing dalam perjalanan karya mereka memecahkan masalah dan kendala lingkungan, kata Sonny Keraf.
Fasilitator pada acara ini, yakni aktivis lingkungan hidup yang mendampingi para penerima Kalpataru, Daniel Stephanus, mengatakan, mencari dan menemukan kembali penerima penghargaan Kalpataru merupakan masalah tersendiri panitia ini. Sebab, setelah penghargaan diberikan sejak 1980-an, sudah banyak perubahan.
Misalnya desa dan lingkungan tempat tinggalnya tak bisa ditemukan. Yang hadir di sini yang berhasil dilacak. Boy, juga fasilitator, mengatakan, di lokasi sesuai catatan tempat tinggalnya kini terkadang lokasi rumah sudah berubah.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memaparkan, upayanya selama menjabat Wali Kota Surabaya selama ini meletakkan isu lingkungan dan kelestarian ekologi dalam kebijakan pemerintahannya.
Di antaranya membentuk taman dan sedang menyiapkan hutan kota di wilayah-wilayah tertentu. ”Hutan di wilayah barat Surabaya kami jadikan sebagai resapan air, hutan di wilayah utara untuk menahan resapan air laut,” katanya.
Ia juga mengatakan, bagaimana selama ini ia berhasil menahan intrusi air laut dari semula masuk ke 60 persen wilayah Surabaya kini tinggal menjadi 20 persen.
”Karena kami di kota, pembuatan taman di perkampungan kami terapkan dengan menanam pohon buah. Melalui itu, keterlibatan warga masyarakat bisa diandalkan sebab mereka senang sekali ikut menikmati buah hasil penghijauan. Sementara biaya pembelian bibit pohon memanfaatkan sumbangan perusahaan. Kami memiliki hampir semua jenis mangga di Surabaya. Kami juga membuat kebun sayuran yang hasilnya kami jual di kompleks kantor Pemkot Surabaya,” katanya.