MATARAM, KOMPAS - Pemerintah Daerah didorong memanfaatkan potensi sumber daya Energi Baru dan Terbarukan (EBT) seperti panas bumi, angin dan arus laut guna mendukung ketahanan energi nasional.
Hal itu terungkap dalam seminar energi Implementasi Kebijakan Energi Nasional untuk Mendukung Ketahanan Nasional, yang diselenggarakan Media Online energipos.com bekerjasama dengan Universitas Mataram, Jumat (4/5/2018) di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sebagai pembicara antara lain Puromo Yusgiantoro, mantan Menteri ESDM dan Menteri Pertahanan, kemudian Saleh Abdurrahman, Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN), serta Herman Darnel Ibrahim, Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI)
Terkait wacana penggunaan bahan bakar nuklir untuk mengatasi kebutuhan listrik, Purnomo Yusgiantoro mengatakan posisi nuklir dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagai opsi terakhir.
Ketimbang mengembangkan nuklir, Purnomo memilih banyaknya jenis sumber daya energi EBT seperti geothermal, arus laut, energi laut, matahari, angin dan biomasa yang tersebar di Nusantara yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional dalam jangka panjang.
Sementara cadangan minyak bumi Indonesia sekitar 3,5 miliar barel dan hanya cukup digunakan dalam 12 tahun ke depan. Cadangan gas bumi sekitar 150 triliun kaki kubik (tscf) yang cukup memenuhi kebutuhan 60 tahun ke depan. Kemudian cadangan batu bara tahun 2013 tercatat 28 miliar ton yang dapat digunakan 70 tahun ke depan. Indonesia juga memiliki beberapa jenis baru yang belum berkembang seperti potensi Coal Bed Methane sekitar 450 tscf, dan shale gas mencapai sekitar 574 tscf (Kementerian ESDM 2014).
Untuk mengamankan pasokan energi secara berkelanjutan, Indonesia perlu meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan -saat ini baru sekitar 6 persen dalam bauran energi nasional- dengan beragam jenis EBT yang dimiliki tiap daerah, misalnya untuk pemenuhan energi listrik.
"PLTN pilihan terakhir, kita maksimalkan dulu potensi energi terbarukan yang kita miliki,” ujar Saleh Abdurrahman, sekjen DEN. Pemanfaatan energi nuklir (PLTN) bukan prioritas. "Biaya pembangkitan nuklir per kwh itu termasuk mahal. Belum lagi ditambah biaya-biaya risiko kecelakaan, akan tambah membengkak," ujar Saleh.
Risiko nuklir
Herman Darnel Ibrahim, Ketua Dewan Pakar METI mengatakan di negara lain, nuklir tidak termasuk dalam energi terbarukan. “Nuklir adalah escape, sebagai pelarian, juga PLTN bukanlah energi yang murah. PLTN di Eropa biayanya 12 sen per kwh, sementara coal and gas hanya 6 sen,” ujarnya.
Biaya investasi 5.000 MW PLTN, ungkap Herman Darnel Ibrahim, mencapai 35-40 miliar dollar AS atau setara Rp 500 triliun. Dengan biaya yang sama bisa membangun 20.000 MW PLTU batubara atau 30.000 MW PLTGU gas yang lebih aman dan minim resiko.
Juga nuklir terhadap risiko seperti adanya ketergantungan Indonesia terhadap pihak asing selaku penyedia pelet uranium dan spent fuel handling, kemudian adanya kasus-kasus terorisme di dalam negeri menjadikan Indonesia rentan diembargo, serta bila terjadi kecelakaan nuklir berdampak pada kelumpuhan dan kebangkrutan ekonomi.
Oleh sebab Purnomo Yusgiantoro, Saleh Ibrahim dan Herman Darnil Ibrahim sepakat, mendorong dan memaksimal kekayaan EBT yang melimpah di Tanah Air, dengan strategi pengembangannya dibedakan tiap daerah tergantung potensi EBT yang ada.