Korupsi dan Tata Birokrasi Menjadi Materi Debat Cagub NTT
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penataan birokrasi dan korupsi menjadi tema debat kedua pasangan calon Gubernur Nusa Tenggara Timur di salah satu televisi swasta di Jakarta, Rabu (8/5/2018) pukul 20.40 Wita.
Birokrasi sangat penting dalam mengelola sebuah pemerintahan. Birokrasi yang berkualitas dan berkarakter dengan sendirinya menghindari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) NTT meloloskan 43 bakal calon anggota DPD RI periode 2019-2024, empat di antaranya perempuan.
Juru Bicara Komisioner KPU NTT Yosafat Koli di Kupang, Rabu (8/5/2018), mengatakan, pertanyaan debat ini diusung tiga panelis, yakni David Pandie (akademisi dari Universitas Nusa Cendana Kupang), Laurens Sayrani (penggiat pemberantasan korupsi dan juga dosen Undana), serta Darius Beda Daton, Ketua Ombudsman NTT. Ada unsur akademis, penggiat pemberantasan korupsi, dan Ombudsman yang memiliki pengalaman tentang pelayanan publik di NTT.
”Dua tema ini dipilih KPU NTT setelah menggelar rapat bersama. Birokrasi dan kasus korupsi menjadi persoalan pokok bagi seorang kepala daerah dalam memimpin NTT. Birokrasi gemuk dengan staf berkelimpahan di setiap kantor, tetapi memiliki kinerja yang kurang produktif dan efisien, dengan sumber daya manusia yang lemah, berdampak buruk bagi pelayanan kesejahteraan masyarakat,” kata Yosafat Koli yang akrab disapa Yos.
Korupsi masih terjadi di sejumlah sektor dan lini pemerintahan. Setiap urusan yang berhubungan dengan masyarakat umum selalu ada pungutan liar, atau sengaja dihambat untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
Kolusi di kalangan pejabat dan politisi untuk mendapatkan keuntungan bersama pun masih tinggi. Kolusi ini bersifat tertutup, dan terjadi pada saat tertentu, seperti pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah (APBD) antara eksekutif dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) serta pengelolaan dana bantuan sosial oleh kepala daerah yang sering berkolusi dengan aparat penegak hukum.
Nepotisme pun masih menjadi hambatan serius di kalangan pemprov dan pemda di NTT. Perekrutan pegawai negeri sipil, penempatan jabatan dan eselon, kenaikan pangkat, penghargaan, perekrutan tenaga untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMD), penentuan atlet, dan seniman pun sering berlatar belakang nepotisme. Dua unsur yang paling menentukan dalam nepotisme di NTT adalah keluarga, suku, dan agama.
Kedua tema besar ini pun sudah hampir satu bulan lalu diserahkan kepada keempat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Namun, pertanyaan terkait kedua tema ini hanya ada di tangan KPU NTT dan panelis, yang menyusun, dan disampaikan pada saat debat.
Sementara itu, KPU NTT telah melakukan verifikasi bakal calon anggota DPD RI periode 2019-2024 asal NTT sebanyak 43 orang. Dari jumlah ini, lima orang dari unsur perempuan, yakni Lusia Adinda Lebu Raya, Sarah Lery Mboeik, Yustina Go’o, Yustina Ndun, dan Hilda Manafe. Ke-43 bakal calon anggota DPD RI NTT ini telah memenuhi persyaratan pencalonan.
”Proses verifikasi masih berlangsung sampai dengan 11 Mei. Jumlah 43 ini bisa bertambah. Kami berharap masih ada perempuan NTT yang mengajukan syarat pencalonan diri dalam pemilihan anggota DPD RI 2019,” kata Koli.
Lusia Adinda Lebu Raya, salah satu bakal calon DPD RI, mengatakan, jika masyarakat NTT mendukung dan Tuhan berkenan, dengan pengalaman yang ada selama mendampingi Frans Lebu Raya, suaminya, sebagai Wakil Gubernur NTT selama 5 tahun dan gubernur 10 tahun, bisa dimanfaatkan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat NTT. Meski kewenangan DPD terbatas, dengan berbagai upaya ia akan memperjuangkan itu.