SEMARANG, KOMPAS — Media massa berperan penting dalam memberitakan informasi yang berimbang selama masa pilkada serentak. Untuk itu, pengutipan data dari lembaga survei harus lebih selektif.
Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Imam Wahyudi mengatakan, perusahaan media massa harus tegas melarang wartawan terlibat dalam pilkada serentak. Profesi wartawan dianggap sebagai wakil publik yang independen. Selain itu, segala bentuk pemberitaan tidak dapat diintervensi siapa pun, termasuk oleh pengusaha dan politisi.
”Berita harus mengangkat kepentingan banyak orang, bukan pihak tertentu,” kata Imam dalam diskusi media bertajuk ”Peran Ideal Media di Pilkada dalam Perspektif Antikorupsi” di Kota Semarang, Senin (8/5/2018).
Selama pilkada, wartawan harus memahami peran dan fungsi pers, antara lain memberi akses langsung kepada calon untuk menyampaikan pesan kepada publik, meliput aktivitas calon untuk memenuhi kebutuhan publik, dan memberi edukasi terhadap pemilih melalui pemberitaan yang dibuat. Wartawan tidak perlu takut mengangkat berita buruk selama memenuhi etika dan kaidah jurnalistik.
Menurut Imam, saat ini mayoritas media massa hanya mengutamakan fungsi pers sebagai hiburan. Padahal, pers memiliki empat fungsi yang tidak dapat terpisahkan, mulai dari fungsi informatif, edukatif, hiburan, hingga kontrol sosial. Media massa yang bertahan lama tidak hanya mengutamakan hiburan, tetapi kreatif memanfaatkan arsip data dan menciptakan konten baru.
Peneliti Departemen Publik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies Arya Fernandez mengatakan, wartawan harus lebih selektif dalam mengutip data survei. Rekam jejak lembaga survei harus jelas dan terbukti akurat. Setiap penyelenggaraan pilkada serentak banyak lembaga survei baru bermunculan.
”Mayoritas lembaga survei tidak terkualifikasi, data dan metode penelitian tidak valid, serta cenderung menggiring opini publik,” kata Arya.
Pemberitaan hasil survei yang tidak valid dapat memengaruhi persepsi dan psikologis pemilih. Arya mencontohkan, pada Pemilihan Presiden 2014 banyak lembaga survei yang salah memprediksi pasangan calon. Sebagian besar lembaga survei sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan khusus.
Data penelitian biasanya digunakan untuk mendeteksi aspirasi dan harapan masyarakat, mengevaluasi tingkat kepuasan terhadap kinerja dan program pemerintah, serta mengetahui pilihan pemimpin yang sesuai aspirasi masyarakat. Menurut Arya, kurasi terhadap pengutipan data hasil survei masih rendah.
”Mayoritas media online kerap memublikasikan hasil penelitian dari lembaga tidak terkualifikasi,” katanya.