Ikhtiar Berdikari Petani Mandiri
Dalam budidaya kopi, petani seperti berjuang sendiri. Mereka pun mencoba berdikari, menyigi potensi berbasis kearifan lokal. Perkakas dapur jadi peranti riset dan kebun jadi laboratorium.
Hari masih pagi, saat Hernawan (40) bergegas dari rumah panggungnya di Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, Lampung. Kepalanya terlindung caping, golok kecil terselip di pinggang. Tidak lupa tas dan kantong berisi beragam perkakas ditenteng.
”Siap ngantor kita,” ujarnya. Yang dia sebut kantor tak lain adalah kebun kopi robusta seluas 2 hektar berjarak 200 meter dari rumahnya.
Kebun kopinya terhampar rapi. Sinar matahari leluasa menyinari karena tinggi tanaman rata-rata hanya 1,5 meter. Dia rajin memangkas daun dan menyambung pohon agar tetap produktif. Areal kebun bersih dari daun kering. Jarak antarpohon terjaga sekitar 2 meter. ”Ini hasil ngantor setiap hari. Bisa setengah jam per hari atau kerap lebih kalau sudah di kebun,” kata Hernawan.
Kebun itu pula jadi laboratorium penelitiannya. Seperti siang itu, dia mempraktikkan pembuatan alat pengalih minat hama penggerek buah pada biji kopi merah.
Cara kerja perkakas dari bekas minuman ringan itu ditiru dari alat yang dijual di pasar. Di bagian atas botol, diikatkan secuil buah pisang. Adapun di dalam botol, ia bubuhkan air deterjen sabun cuci.
Hasil pengamatannya, penggerek buah senang bau harum. Jadi, setelah makan buah pisang, hama akan jatuh dan tergenang di air deterjen. Alat ini cocok dipasang saat musim pancaroba atau menjelang berbuah saat serangan hama mencapai puncaknya.
Bukan hanya itu, petani kopi generasi ketiga itu juga memiliki cara jitu mengusir semut. Dia pun membuat rumah semut dari daun kopi kering. Setelah disusun, lalu dipasang jauh dari dahan kopi yang terhindar dari sengatan matahari langsung. Tujuannya mengalihkan perhatian semut bersarang di antara dahan bakal buah. ”Sudah puluhan petani menerapkan metode ini,” ucapnya bangga.
Waktu pemangkasan
Riset sederhana, tetapi ampuh meningkatkan produktivitas kopi juga dilakukan petani di Tugusari, Sumber Jaya, Lampung Barat, Lampung, dalam beberapa tahun terakhir. Penggeraknya, Ahmad Ervan (54), tokoh petani setempat. Salah satu temuannya soal waktu pemangkasan pohon robusta mengantisipasi perubahan cuaca selama Juli-September. Tujuh tahun lalu, di tiga bulan ideal panen itu, penghasilan petani kerap seret akibat cuaca tak bersahabat.
”Pemangkasan harus pada bulan ke-10 setiap tahun. Waktu itu dianggap ideal mempersiapkan pohon dan bunga yang baik saat panen nanti,” katanya.
Untuk menemukan sekaligus mengajak petani mempraktikkan, Ervan butuh waktu tujuh tahun pengamatan dengan banyak uji coba. Hasilnya manis. Dari sebelumnya panen hanya 600-700 gram per pohon, kini bisa sekitar 1 kg kopi per pohon dari 15-20 ranting. Potensinya bisa 2 kg per pohon panen.
Bukan hanya alat atau metode. Petani di pelosok juga berupaya mendapatkan benih unggul. Seperti Hasmin (48), petani di Dusun Nating, Bungin, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Setelah puluhan bahkan lebih dari 100 tahun, varietas kopi typica yang ditanam paling awal di lereng Gunung Latimojong itu mulai tidak produktif. Namun, Hasmin masih berniat mempertahankan fisik batang varietas typica yang besar dan kokoh. ”Batang typica paling cocok di daerah dengan topografi curam seperti kebun kami di Nating. Tapi, produksinya makin tahun semakin sedikit,” ujarnya.
Meski SD pun tak tamat, dia tak mundur. Berbekal pengetahuan hasil tanya sana-sini, dia mencoba mempraktikkan teknik sambung pucuk di tanaman kopinya. Varietas arabika typica di bagian pangkal disambung dengan arabika Lini S-795. Hasilnya, produksi tanaman awalnya hanya 500 gram biji beras per batang, bisa naik menjadi 800 gram, bahkan 1 kilogram. Namun, diakui, percobaan itu ada juga yang gagal.
Di Gayo, Aceh, para petani mencoba meriset bibit baru. Kini, sedikitnya 20 varietas baru hasil bibit tak anjuran beredar di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Seperti ateng super, ateng jaluk, dan ateng janda. Yang paling populer ateng super. Dalam 1 hektar, ateng super bisa menghasilkan 1,7 ton biji beras kopi per tahun. Itu melampaui rata-rata produktivitas kopi pada umumnya yang masih di bawah 1 ton.
Di sentra pembibitan kopi Desa Mude Benara, Kecamatan Timbang Gajah, Bener Meriah, yang memasok lebih dari 50 persen kebutuhan kopi gayo, bibit paling diminati ateng super. Bibit itu belum disertifikasi alias belum menjadi bibit anjuran.
Salah satu pembibit, Syahri Rafita, mengatakan, tahun lalu memproduksi 300.000 bibit kopi jenis ateng, tetapi habis terjual. Berbeda sewaktu ia bibitkan 30.000 batang varietas Gayo 1, peminatnya minim. ”Ateng super berapa pun saya bibitkan, habis dibeli petani,” katanya.
Soal kemurnian varietas, Sutarjo, penyuluh pertanian di Enrekang, mengaku, tanaman kopi hasil sambung pucuk di Dusun Nating sedang diujikan ke Puslitkoka untuk diketahui kemurnian varietasnya. Ini terkait informasi yang disyaratkan pasar kopi spesial.
Di antara keterbatasan dan desakan kebutuhan, petani memaksa diri berkreasi. Walau disadari, hal itu tidak ubahnya seperti berjudi. Dibutuhkan kehadiran dan perhatian negara secara nyata di kebun kopi.