Kopi Membentuk Peradaban Kota
Sejak kopi menjadi komoditas paling menjanjikan di dunia, wajah pedalaman tak lagi sama. Kebun kopi diperluas membentuk peradaban baru. Peradaban dengan kultur budaya baru dan tatanan ekonomi yang baru pula.
Dulu, Malang Raya (Kota/Kabupaten Malang, serta Batu) adalah kawasan kecil penghasil kopi. Tanaman ini mengisi kota hingga kaki gunung: Penanggungan, Kawi, Panderman, Semeru, dan Arjuno.
Jejak perkebunan kopi di Malang tergambar dalam laporan perjalanan JL Van Sevenhoven, warga Belanda yang menelusuri jalur tua Malang-Kediri pada 1812. Dalam buku Sejarah Daerah Batu yang ditulis sejarawan dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, 2011, Sevenhoven melewati kebun kopi di Naya, yang kini dikenal dengan Dinoyo dan Kaling atau Sengkaling. Ia lalu menyeberang Sungai Brantas dan menemukan kebun kopi Batu. Luasan perkebunan tak masif, tetapi ada di sepanjang jalan.
Malang saat itu masih dianggap sebagai daerah tak produktif karena kekurangan tenaga kerja. Perang Surapati atau Geger Suropaten memicu migrasi penduduk keluar dari Malang. Kondisi berubah saat Belanda menerapkan tanam paksa pada 1830-an. Mereka memperluas kebun kopi. ”Malang bertanah subur dan cocok untuk kopi. Perluasan kebun pun dimulai sejak saat itu,” kata Dwi Cahyono.
Kopi juga masuk kawah purba pegunungan Ijen. Kawasan ini berada di 1.200-1.500 meter di atas permukaan laut. Banyuwangi, Jember, dan Bondowoso menjadi kawasan kota penyangganya. Saat itu, kota-kota ini lebih ramai dibandingkan dengan Malang. Dalam catatan Thomas Stanford Raffles dalam buku The History of Java, Malang hanya berpenduduk 7.148 jiwa. Banyuwangi sudah mencapai 8.070 jiwa. Besuki dan Panarukan bahkan lebih padat, 24.109 jiwa.
”Pada 1856, Bondowoso resmi menjadi pusat pemerintahan Keresidenan Besuki karena hasil dari kopi yang melimpah. Bondowoso berkembang,” ungkap Nawiyanto, Guru Besar Sejarah Ekonomi dan Lingkungan Universitas Jember.
Di kawasan itu mereka membangun pula dua pabrik kopi besar, Blawan dan Kalisat-Jampit. Pabrik ini menghasilkan kopi beras yang dikapalkan ke Eropa.
Tingginya hasil kopi membuat Belanda membangun infrastruktur penunjang. Jalur rel kereta dibangun untuk membawa kopi dari Bondowoso ke Panarukan.
Buku Tiga Abad Perjalanan Kopi Indonesia (belum terbit) yang ditulis John Bako Baon menyebut Blawan di Ijen (Bondowoso) menjadi salah satu kebun terluas, yakni 1.333 bahu (1 bahu setara dengan 0,7 hektar), dengan hasil 6.272 pikul arabika pada 1933. Pancur Angkrek, yang juga di Ijen, pernah mendapatkan hasil 9.000 pikul arabika (laporan tahun 1912), padahal luasannya hanya 1.080 bahu. Jumlah panen itu merupakan tertinggi yang pernah dicatat dalam sejarah panen di sebuah kebun kopi arabika.
Belanda mendatangkan pula pekerja dari Madura ke perkebunan Malang, Jember, Banyuwangi, dan Bondowoso. Suritno, salah seorang pekerja di pabrik Kalisat-Jampit, adalah keturunan ketiga dari Madura. Ia ingat betul cerita kakeknya, yang saat itu diambil Belanda untuk turut membabat hutan dan menanam kopi.
Perjalanan dari Besuki ke Blawan bisa berhari-hari dengan jalan kaki. ”Mereka (warga lokal) di depan, sedangkan orang Belanda berada di belakang. Jika ada binatang buas yang menyerang, merekalah yang kena lebih dulu,” kata Suritno.
Bersama kedatangan para pekerja itu, Belanda membawa serta pula kesenian asal warga. Janger, misalnya, dipentaskan saat musim petik kopi. Muncul pula Gandrung, tarian lokal warga Osing yang merupakan penduduk asli Banyuwangian.
Menurut Qubul Wathoni Akhsani, Wakil Manajer Kebun Blawan PTPN XII, kesenian itu dahulu dibawa para pekerja yang tak kembali ke kota. Mereka terus bertahan di perkebunan menggunakan upah untuk bersenang-senang. Ketika upah habis, mereka akan bekerja lagi, begitu seterusnya.
Berubah
Kini setelah dua abad lebih, sisa jejak kopi masih bisa dicecap. Kantor Bupati Malang yang dulu jadi tempat berkumpul cikar pembawa panen kopi masih ada. Bedanya kini tak ada cikar dan kopi lagi. Jalur Lawang, penghubung Malang-Surabaya yang dibuka untuk memberi akses perdagangan kopi ke Surabaya, menjadi jalur tersibuk.
Sebaliknya, di kawasan-kawasan yang dilintasi Sevenhoven tidak lagi ditemukan kopi. Dinoyo, Sengkaling, dan Karangploso yang berada di Kota Malang menjadi permukiman padat penduduk. Beberapa pabrik pengolahan kopi seperti Tretes Panggung di Dampit, Malang, ini tinggal puing setelah dihancurkan warga setelah agresi militer Belanda kedua.
Wabah karat daun telah menyurutkan perkebunan kopi di Jember, Pasuruan, Banyuwangi, dan sekitarnya. Di Jember, kopi tergeser tembakau dan gula. ”Pada awal abad ke-20, kebun kopi di sentra kopi Wringin tak lagi dapat ditanami kopi dan membuat pekerja perkebunan bermigrasi ke Jember,” ungkap Nawiyanto.
Empat perkebunan di lembah Ijen-lah yang masih bertahan. Selamat dari serangan karat daun, empat perkebunan itu masih memproduksi Java coffee atau kopi Jawa yang telah berabad-abad lalu digemari dunia. Pabrik itu kini di bawah PTPN XII. Mereka masih memproduksi kopi dengan pasar yang sama dengan 200 tahun silam.
Hal yang paling nyata adalah peleburan kebudayaan. Suku Madura berkembang di kota-kota penyangga perkebunan. Mereka berdampingan dengan suku lain yang sesama pendatang atau dengan suku asli.
Kopi di kota-kota itu juga memasuki fase baru yang tak lagi hanya menjadi produsen, tetapi konsumen kopi. Kedai kecil hingga kafe bermunculan memberi ruang bersosialisasi pada warga kota. Ruang sosialisasi itu bisa jadi mengawali peradaban baru. Peradaban yang dibangun dari kultur ngopi.