MAKASSAR, KOMPAS - Terulangnya kasus kekerasan terhadap anak di Sulawesi Selatan (Sulsel), memunculkan kesadaran akan optimalisasi program kesehatan jiwa di tiap puskesmas. Tim kesehatan jiwa di puskesmas, harus lebih proaktif untuk melakukan pendekatan hingga ke tingkat keluarga.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pemprov Sulsel Meisy Papayungan, mengatakan hal itu di Makassar, Sulsel, Selasa (8/5/2018).
“Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, termasuk pada anak, sebenarnya hanya dampak dari berbagai persoalan. Banyak warga terganggu jiwanya akibat impitan persoalan. Anaklah yang paling rentan menjadi pelampiasan kekecewaan dan amarah,” kata Meisy.
Dua kasus terakhir pada Sabtu-Minggu (5-6/5/2018) menambah panjang kasus kekerasan pada anak di daerah ini. Satu kasus terjadi di Kabupaten Gowa, Sabtu, menimpa bocah laki-laki AM (5). Korban sempat dibawa ke rumah sakit pada Sabtu malam, tetapi tewas sebelum tiba di rumah sakit.
Pelaku tak lain ayah korban sendiri, HB (28), yang awalnya mengaku anaknya jatuh dari motor. Namun, bekas luka di sekujur tubuh korban membuat polisi curiga dan melakukan otopsi. Hasilnya, ada kekerasan fisik. Otopsi juga mengungkap fakta baru bahwa anak ini juga korban kekerasan seksual oleh ayahnya.
Kasus berikutnya terjadi Minggu malam di Makassar. Lagi-lagi korbannya anak lima tahun, yang terluka di beberapa bagian tubuh, akibat dianiaya ayahnya.
“Kasus-kasus seperti ini bukan lagi harus dituntaskan dengan pendekatan hukum saja, tapi juga psikologis. Dulu kekerasan tak masuk ke desa, sekarang sudah. Banyak persoalan yang bermula dari retaknya ikatan rumah tangga, sehingga tak bisa lagi mengemban fungsi melindungi. Karena itu, saya berharap peningkatan pelibatan puskesmas dan tenaga kader,” kata Meisy.
Hal senada dikatakan Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Sulsel Komisaris Besar Dicky Sondani. Menurut dia, pendekatan psikologis dan kekeluargaan juga akan dilakukan kepolisian sebagai bentuk pencegahan.
“Kami akan segera bertemu tokoh masyarakat dan agama untuk membahas pencegahan. Akan dilibatkan tim psikolog dari Polda, kepala desa, Babinkamtibmas, dan Polres untuk membuat program yang sifatnya lebih pendekatan dan pencegahan,” kata Dicky.