Organisasi Profesi Kepariwisataan Perlu Diatur Dalam UU Kepariwisataan
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Organisasi profesi bidang kepariwisataan perlu diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Pariwisata. Alasannya, dalam perkembangannya kini banyak organisasi pariwisata muncul namun tidak memiliki standar kualitas dan pelayanan dalam usaha jasa wisata
“Itu (usulan) bagus, perlu dipertimbangkan dan diatur dalam Undang-Undang Kepariwisataan sebab banyak contoh profesi lain mengatur organisasi profesinya seperti advokat dan kedokteran,” kata Rudi Rochmansyah, Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-undang dari Badan Keahlian DPR RI, Selasa (8/5/2018), di Mataram, Lombok, dalam dialog dengan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia NTB Hadi Faesal dan Ketua Asita NTB Dewantoro Umbu Joka.
Dewantoro Umbu Joka dalam dialog itu mengatakan, di era keterbukaan saat ini muncul berbagai organisasi bidang kepariwisataan. Sementara dalam UU Kepariwisataan, penjelasan organisasi kepariwisataan masih bersifat umum sedang organisasi profesi kepariwisataan perlu memiliki standar kualitas, bukan organisasi ecek-ecek yang dibentuk sesaat.
“Saya mengusulkan, organisasi profesi bidang pariwisata diatur dalam UU Kepariwisataan, dan memenuhi standar pelayanan jasa usaha pariwisata dan legal secara hukum,” ungkapnya.
Menurut Robi Rochmansyah, Tim Pusat Pemantauan Pelaksanaan UU Pariwisata turun ke berabagai seperti ke NTB Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Barat dan Bali, untuk memantau pelaksanaan UU itu. Ada beberapa persoalan yang ditemui, karena tiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya di Kota DIY sudah terbentuk, meski di Provinsi DIY belum memiliki BPPD.
“Kenapa ada daerah yang sudah membentuk BPPD-nya, dan yang lain belum, ini yang ingin kami ketahui, ” ujarnya.
Persoalan-persoalan itu akan disampaikan ke DPR RI sebagai bahan kajian dan masukan, dalam bentuk revisi atau penguatan dalam pasal-pasal UU Kepariwisataan itu.
Prihal keberadaan UU kepariwisataan itu di NTB, kata Rubi, ada sinergitas antara Pemprov NTB dengan berbagai elemen kepariwisataan, kendati dalam tataran pelaksanaan oleh berbagai stake holder belum dijalankan sesuai amanat dan ketentuan itu. Misalnya, polemik pembentukan pengurus BPPD NTB 2018-2022, kendati secara prosedur sudah sesuai ketentuan yang berlaku, dan pengurus baru syah secara hukum.
Sementara Ketua PHRI NTB Hadi Faesal mengatakan, segmentasi pariwisata halal menambah semarak khazanah pariwisata di Lombok. Hal itu terindikasi dari asal wisatawan yang berkunjung ke Lombok.
"Jika selama ini kunjungan ke Lombok didominasi wisatawan Australia, namun dalam beberapa tahun terakhir kunjungan lebih banyak wisatawan asal Malaysia. Ini dampak wisata halal, moslem friendly,” ujarnya, sehingga wisata halal bisa bersanding dengan wisata konvensional.
Pariwisata Lombok dinilai tengah ‘naik daun’ menyusul adanya kegiatan berskala nasional dan internasional dilakukan di Lombok. Misalnya Multilateral Naval Exercise Komodo (MNEK) 2018 yang dilaksanakan 4-9 Mei, Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional yang diisi Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK (7-11/5/2018), dan balap lari lintas alam, Rinjani 100K (4-6/5/2018).
Beragam kegiatan itu menjadikan tingkat okupansi kamar hotel cukup signifikan. "Ada 4.130 kamar hotel bintang dan nonbintang di Mataram penuh semua, dengan rata-rata okupansi kamar mencapai 90 persen," kata Hadi Faesal. Namun tingkat hunian kamar hotel itu biasanya menurun selama Bulan Puasa, menjadi rata-rata 40 persen.