Empat kabupaten di Papua, yakni Jayapura, Nabire, Keerom, dan Sarmi, rawan perambahan hutan. Petugas yang jumlahnya sangat minim kesulitan mengawasi kawasan hutan di sana.
JAYAPURA, KOMPAS - Kawasan hutan di empat kabupaten di Provinsi Papua rawan dirambah secara ilegal untuk pengambilan kayu merbau dan jenis lain. Petugas kesulitan mengawasi wilayah hutan yang luas dengan jumlah tenaga pengawasan yang minim.
Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Yan Ormuseray di sela-sela pengungkapan kasus penyelundupan 292 batang kayu ilegal oleh jajaran Polisi Kehutanan dan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Papua di Jayapura, Selasa (8/5/2018).
Empat kabupaten yang rawan perambahan itu meliputi Kabupaten Jayapura, Nabire, Keerom, dan Sarmi. Berdasarkan informasi yang dihimpun Dishut Papua dari lapangan dan laporan warga, untuk sekali pengangkutan, sekitar 20 truk membawa kayu dari sejumlah area hutan di keempat kabupaten itu. Setiap truk bisa mengangkut hingga 4 meter kubik kayu.
Yan mengatakan, pihaknya sangat kekurangan tenaga untuk mengawasi maraknya perambahan hutan di empat kabupaten tersebut. Hal ini terjadi setelah pengalihan kewenangan pengelolaan hutan dari kabupaten ke provinsi. Pengalihan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Jumlah polisi kehutanan (polhut) Dishut Papua saat ini sebanyak 123 orang. Adapun hutan yang harus diawasi seluas 32 juta hektar. Artinya, jika dirata-ratakan, setiap polhut harus mengawasi 260.000 hektar hutan. Idealnya setiap polhut mengawasi 5.000 hektar saja.
”Minimnya jumlah petugas inilah yang menyebabkan maraknya pengambilan kayu secara ilegal di empat kabupaten tersebut,” kata Yan.
Dishut Papua telah menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, serta pemerintah daerah dan tokoh masyarakat untuk menghentikan perambahan hutan. Hal ini sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan tenaga sekaligus tindak lanjut deklarasi penyelamatan sumber daya alam Papua pada awal tahun ini.
Selain jumlah petugas yang minim, anggaran untuk operasi pengawasan juga minim. ”Kami meminta perhatian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar bisa menyiapkan bantuan anggaran untuk operasi pengawasan di seluruh kawasan hutan Papua,” ujar Yan.
Anggaran minim
Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dishut Papua Yan Pugo mengungkapkan, pihaknya hanya dibekali anggaran untuk operasi pengawasan dan penangkapan perambah hutan ilegal Rp 40 juta-Rp 50 juta per tahun.
”Dengan dana yang minim, kami hanya dapat menjalankan satu kali operasi pengawasan hutan secara optimal di tiga daerah, yakni Keerom, Sarmi, dan Kabupaten Jayapura,” ujarnya.
Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar menyatakan, jajarannya siap menindak tegas oknum-oknum yang terlibat dalam perambahan hutan. ”Kami telah membuat kesepakatan dengan Direktorat Penegakan Hukum KLHK dan KPK untuk menghadapi aksi perambahan hutan dan illegal logging di tanah Papua,” kata Boy.
Menurut Kepala Bidang Bina Produksi Kehutanan Dishut Papua Ade Irawan, masyarakat pemilik hak ulayat mudah terpengaruh iming-iming yang ditawarkan perambah hutan, khususnya kayu. Hal ini disebabkan faktor ekonomi. Masyarakat menjual hasil hutan agar mendapat uang secara cepat demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bupati Sarmi Eduard Fonataba mengatakan, pihaknya terus menempuh cara persuasif kepada warga agar tidak menyerahkan hutan lindung miliknya kepada perambah.