Terpesona Hamparan Teh Bukit Barisan
Paramita Dwipoerwantoro (56), pesepeda asal Jakarta ini tidak henti-hentinya mengagumi Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Selama tiga hari berturut-turut dia bersepeda mengikuti acara Jelajah Lima Danau dari Bukit Tinggi hingga Sungai Penuh, Provinsi Jambi, selalu melewati hamparan perkebunan teh yang begitu luas mulai dari Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat hingga di Kayu Aro, Provinsi Jambi.
Panorama perkebunan di Bukit Barisan ini begitu memikat. Tidak kalah dengan kawasan Puncak dan Lembang di Jawa Barat. Malah, perkebunan teh di Alahan Panjang, Padang Aro serta Kayu Aro lebih menarik, sebab selalu sepi kendaraan bermotor yang lalu lalang.
“Saya tidak menyangka panorama Bukit Barisan ini begitu indah-menawan. Perkebunan teh begitu luas. Bahkan, jauh lebih luas dibanding di Jawa Barat. Saya benar-benar takjub. Negeri kita ini sungguh kaya,” kata dokter spesialis anak pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Paramita mengaku saat diajak temannya Diah Kusumo Dewi, karyawan Bank BNI di Jakarta untuk mengikuti Jelajah Lima Danau, dia sesungguhnya ragu-ragu. Alasan utama yakni dirinya belum pernah melakukan perjalanan bersepeda selama berhari-hari. Selama ini dia hanya bersepeda selama dua sampai tiga jam dalam jarak yang pendek. Tetapi, pada sisi lain, dia juga sudah lama memendam niat untuk bersepeda di sepanjang tepi Danau Singkarak.
Rayuan maut itu terus dilakukan Dewi, Paramita pun akhirnya memutuskan ikut. Tetapi dia hanya memilih tiga hari, yakni dari Bukit Tinggi hingga Sungai Penuh. Setelah menjalaninya, dia pun mengaku langsung ketagihan. “Selain cita-cita saya bersepeda di Danau Singkarang kesampaian, dan jalur jelajah ini menyenangkan, saya juga mendapatkan banyak pengalaman baru. Salah satunya perkebunan teh di Bukit Barisan yang sangat luas,” ungkap Paramita.
Kekaguman serupa juga diungkapkan sebagian besar peserta Jelajah Lima Danau. Bayangkan saja, saat berada di Kabupaten Solok, mereka menyaksikan hamparan perkebunan teh di Alahan Panjang yang amat luas. Besok harinya ketika bersepeda menuju Padang Aro, Kabupaten Solok Selatan, sejauh 90 kilometer, menjelang finish mereka menemui lagi hamparan perkebunan teh. Kali ini, perkebunan itu milik PT Mitra Kerinci, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) atau sering disebut dengan Kebun Teh Liki.
Kebun teh yang dikelola Mitra Kerinci seluas 2.000 hektar, berada persis di kiri dan kanan jalan utama yang menghubungkan Sungai Penuh (Jambi)-Padang (Sumbar). Perkebunan ini selalu memproduksi teh hijau, teh hitam dan teh putih. Tetapi yang difokuskan adalah teh hijau. Kapasitas produksi sebanyak 60 ton per hektar per hari dari sebelumnya 20 ton per hari.
Selepas Padang Aro, perjalanan memasuki wilayah Kabupaten Kerinci. Di kiri dan kanan jalan Utama tampak warga setempat sibuk mengelola lahan pertanian yang ditanami aneka jenis sayur, terutama kentang, cabai, bawang merah, buncis, sayur kol dan umbi-umbian. Di sela-sela tanaman itu ditanami kayu manis, kopi dan kakao.
Teh hitam terbaik
Menjelang kota Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, persis di bawah kaki Gunung Kerinci mulai tampak lagi hamparan perkebunan teh di sisi kiri dan kanan jalan utama yang luasnya mencapai 2.500 hektar. Yang menarik adalah perkebubunan teh di Kayu Aro berada pada ketinggian sekitar 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl), bahkan disebut termasuk yang tertinggi kedua di dunia setelah perkebunan teh Darjeling di Himalaya yang berada pada 4.000 mdpl.
Perkebunan teh di Kayu Aro juga merupakan yang tertua di Indonesia karena dibangun pada tahun 1925 oleh Namblodse Venotscaaf Handle Vereniging Amsterdam (NV HVA). Lalu diambilalih pemerintah Indonesia pada tahun 1959. Bahkan, perkebunan ini pun termasuk yang memproduksi teh hitam terbaik di dunia. Proses pengolahan daun teh masih menggunakan cara konvensional. Serbuk-serbuk teh tidak menggunakan bahan pengawet atau bahan pewarna tambahan.
Untuk menjaga kualitas teh hitam, pekerja dilarang menggunakan kosmetik saat mengolah teh. Setiap tahun perkebunan Kayu Aro memproduksi sekitar 5.500 ton teh hitam. Kualitas terbaik selalu diekspor ke Eropa, Timur Tengah, Amerika Serika dan beberapa negara di Asia. Bahkan, di masa lau, teh Kayu Aro sangat disukai Ratu Inggris dan Ratu Belanda.
“Saya benar-benar takjub dengan pesona alam di Bukit Barisan. Daerahnya subur, air melimpah, masyarakatnya pun ramah. Ini aset bangsa kita yang luar biasa. Semoga kekayaan yang berlimpah ini, termasuk perkebunan teh dengan kualitas terbaik ini tetap terjaga hingga selamanya,” ujar Benjamin Bunawijaya, pesepeda yang tinggal di Tangerang.
Lahan yang subur
Perjalanan bersepeda di rangkaian pegunungan Bukit Barisan menuju Sungai Penuh, Jambi memang menarik. Setelah Kayu Aro, kami tetap melewati jalan yang beraspal mulus. Ada sejumlah tanjakan, tetapi tidak terlalu berat. Beberapa kali ada turunan yang panjang. Masyarakat setempat sibuk bekerja di kebun masing-masing. Ada yang membersihkan lahan, ada yang memanen sayur.
Kawasan itu termasuk subur. Lahan-lahan yang ada umumnya ditanami aneka tanaman hortikultura, seperti sayur kol, kentang, dan bawang merah, juga kopi dan durian. Kopi kerinci umumnya jenis Arabica, dan kini mulai dikenal masyarakat luas, terutama di luar Jambi.
Saking suburnya lahan di kaki Gunung Kerinci, lahan-lahan pekarangan pun nyaris tidak ada yang dibiarkan kosong. Semua difungsikan untuk budidaya hortokultura. Sayur-sayur telah memiliki pasar. Penjualan tak hanya di wilayah Jambi, tetapi hingga ke beberapa kota besar di Sumatera dan Jawa, bahkan ada yang diekspor ke Singapura.
“Sayur dari Kerinci sudah punya pasar. Setiap hari para pengumpul selalu datang membeli pada petani. Bahkan, ada pedagang yang sudah memiliki gudang di wilayah Kerinci untuk sortir dan penyimpanan. Itu sebabnya lahan di Kerinci selalu ditanami sayur-sayuran,” ungkap Udin, petani kentang di Gunung Tujuh, Kerinci.
Sekitar 10 kilometer menjelang Kota Sungai Penuh, kami mulai melewati jalan datar. Arus lalu lintas pun mulai ramai. Di beberapa titik, tampak warga setempat menjual durian. Katanya, durian itu asli Kerinci yang berasal hutan di sekitar Gunung Kerinci. Ternyata durian Kerinci memang beda. Dagingnya tebal dan berwarna kuning tembaga.
Saking lezatnya, Sabtu (14/4) sore itu, kami habiskan puluhan buah durian. “Durian tembaga sulit kita dapatkan di Jawa. Jadi, jangan buang kesempatan ini. Ayo makan,” ajak Octovianus Noya, lelaki keturunan Maluku yang tinggal di Jakarta. Durian memang menjadi santapan setiap hari dalam jelajah ini.
https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/05/11/makan-bersama-di-rumah-gadang/
Setelah tiba di Kota Sungai Penuh, petang itu, akhirnya kami tiba di tepi Danau Kerinci. Ini adalah danau kelima yang kami singgahi, setelah Danau Maninjau, Danau Singkarak, Danau Diatas, dan Danau Dibawah. Di senja hari itu, kami menggenapi perjalanan bersepeda bernama Jelajah Lima Danau selama lima hari.
Malam itu, meski tersedia makanan di hotel, tetapi sebagian besar peserta tetap berburu kuliner lokal khas Kerinci. Ada yang makan lagi duren yang dicampur ketan. Kebetulan di tengah kota banyak dijual duren. Ada pula yang mencari dendeng batokok. Dendeng dari daging sapi yang telah dipanggang setelah dicampuri dengan sejumlah bumbu. “Rasanya empuk sekali. Dendeng ini khas Kerinci. Ada teman di Jakarta yang merekomendasikan agar di Sungai Penuh saya wajib mencoba denden batokok,” ungkap Rokhmat P Nugroho, Ketua Kompas Gramedia Cyclist (KGC).
https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/05/10/danau-diatas-yang-merana/
Negeri kita ini sangat kaya dan variatif, baik budaya, tradisi, bahasa lokal makanan maupun panorama alam. Kekayaan yang dimiliki sungguh luar biasa. “ Makanya, saya tidak pernah bosan untuk bersepeda mengelilingi nusantara, termasuk ke kawasan Bukit Barisan di Sumatera ini. Saya bisa mengenal dan menggali banyak hal,” ujar Yoke Latif yang bersama suaminya Stefanus Tejo telah bersepeda ke banyak wilayah Nusantara, antara lain Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor dan Sumatera Barat.
https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/05/07/bersepeda-menikmati-bukit-barisan/