Kain Tapis, Warisan Budaya yang Menyatukan
Kerajinan kain tapis terus berkembang dan mempertahankan kekhasannya. Seni sulam itu tidak hanya ditekuni orang Lampung, tetapi juga pendatang. Tapis menjadi simbol keterbukaan dan dinamisasi yang menyatukan.
Di Desa Negeri Katon, Kecamatan Negeri Katon, Pesawaran, Lampung, hampir semua perempuan terampil menapis. Setelah memasak dan mengurus rumah, para ibu akan sibuk dengan papan tekang di tangan. Mereka siap menyulam benang emas menjadi kain tapis.
Kamis (5/4/2018), sekitar 20 ibu rumah tangga berkumpul di rumah Redawati (41), warga yang juga Ketua Kelompok Tapis Jejama. Masing-masing memegang papan tekang, kain tenun, benang emas, dan jarum. Dengan cekatan, mereka merangkai benang emas di atas kain tenun membentuk berbagai motif tapis yang indah.
Tradisi menapis di desa itu berlangsung puluhan tahun lalu. Mereka mewarisi keterampilan itu dari orangtua atau tetangga. Semua perempuan belajar menapis secara otodidak, berawal dari melihat, lalu mencoba.
Mayoritas ibu yang menjaga tradisi menapis merupakan warga asli Lampung. Namun, tidak sedikit perempuan pendatang menekuni seni tapis.
Sri Rahayu (28), perempuan muda Jawa itu, bisa menapis sejak 10 tahun lalu. Sri yang dari desa tetangga menikah dengan pria suku Lampung dan kini menetap di Desa Negeri Katon. Sejak itu, dia makin sering menapis bersama ibu-ibu lain.
Sri bukan ulun (orang) Lampung. Namun, dia merasa terpanggil untuk menekuni kerajinan tapis.
”Kuncinya harus sabar dan telaten. Untuk menyelesaikan satu kain butuh waktu 1-2 bulan. Saya suka menapis karena merasa ikut melestarikan tradisi Lampung,” ujar Sri.
Rohailawati (66), perajin tapis yang asli Lampung, membenarkan, kerajinan tapis tidak hanya ditekuni oleh warga asli, tetapi juga para transmigran yang sebagian besar keturunan Jawa. Menurut dia, warga asli Lampung terbuka dan senang jika semakin banyak orang yang melestarikan tapis. Bagi Rohailawati dan perajin lain, tapis merupakan warisan budaya yang menyatukan mereka.
Redawati mengatakan, menapis dilakukan bersama-sama oleh para ibu rumah tangga di desa itu. Hal itu pula yang membuat mereka membuat Kelompok Tapis Jejama, yang artinya menapis bersama-sama.
Perempuan di desa itu kian semangat menapis karena produk mereka semakin diterima pasar. Jika dulu perajin harus berkeliling ke kota dan kabupaten lain untuk menjual kain tapis, kini pembeli yang datang ke desa mereka. Tak jarang, kain yang belum selesai sudah dipesan konsumen. Harganya Rp 1 juta-Rp 3 juta per helai.
Dipakai di Olimpiade
Prinsip terbuka dan dinamis mengantarkan seni tapis ke panggung internasional. Desainer asal Lampung, seperti Aan Ibrahim, berperan mengangkat kain tradisional Lampung itu ke mancanegara.
Salah satunya, tapis dikenakan di Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil, oleh atlet-atlet Indonesia saat parade. Kain tapis dengan mahkota siger yang menghias kepala saat itu menyedot perhatian dunia. Kesan megah dan atraktif dengan warna harmonis membuat Indonesia mendapat banyak pujian.
Dulu, kata Aan, kain tapis hanya dikenakan oleh perempuan suku Lampung pada acara adat, misalnya perkawinan. Masyarakat dari suku lain belum banyak mengenal kerajinan tapis.
Karena itu, Aan tergerak mengkreasikan kain tapis menjadi pakaian yang lebih modern. Dia merancang berbagai model pakaian yang dipadukan dengan tapis. Aan memperkenalkan karyanya lewat peragaan busana.
Kini, pakaian dengan variasi tapis banyak diburu kolektor dari dalam dan luar negeri. Tapis juga dikembangkan menjadi produk seperti tas dan sepatu. Perajin tapis pun semakin banyak di Lampung.
Menurut budayawan Lampung, Azhari Kadir, perkembangan tapis yang dinamis sesuai dengan falsafah masyarakat adat Lampung, yaitu nemui nyimah, yang berarti murah hati atau terbuka kepada semua orang. Falsafah lain yang dipegang teguh adalah nengah nyappur yang mengajarkan keterbukaan dan bermasyarakat.
Tapis memiliki berbagai motif, seperti pucuk rebung, bintang perak, dan mata kibau. Berbagai motif itu menunjukkan akulturasi kebudayaan nusantara. Azhari mencontohkan, motif pucuk rebung yang berbentuk segitiga, misalnya, sekilas mirip bentuk stupa. Hal ini menunjukkan bahwa tapis juga dipengaruhi masuknya kebudayaan Buddha di Tanah Air.
Antropolog dari Universitas Lampung, Bartoven Vivit, mengatakan, kain tapis juga melambangkan penghormatan kepada kaum perempuan. Tapis yang disulam menggunakan benang emas melambangkan kemewahan atau kemakmuran. Pada acara adat, motif pada kain tapis yang dikenakan oleh perempuan melambangkan status sosialnya atau suaminya.
”Meski masyarakat Lampung menganut sistem patrilineal, perempuan tetap mendapat tempat istimewa. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kedudukan perempuan dianggap penting dalam rumah tangga,” katanya.
Kini, seiring makin berkembangnya kerajinan tapis, warisan budaya itu tetap menjadi simbol terawatnya persatuan di Lampung. Masyarakat dari berbagai suku dan budaya di Lampung tetap bersemangat merawat ”Indonesia Mini” di kampungnya.