KUPANG, KOMPAS — Umat Kristiani di Nusa Tenggara Timur diminta tidak mudah terprovokasi dengan kejadian bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Namun, setiap umat Kristiani selalu waspada dan berupaya memproteksi diri secara dini. Kasus pengeboman di Surabaya tidak ada kaitan dengan agama apa pun. Pelaku pengeboman adalah kelompok teroris, musuh bersama umat beragama, dan seluruh dunia.
Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Kupang Rm Gerardus Duka Pr di Kupang, Minggu (13/5/2018), mengatakan telah mengirim imbauan kepada seluruh gereja di bawah Keuskupan Agung Kupang agar tidak mudah terprovokasi atas kasus pengeboman di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Ngagel, Gubeng, Surabaya; GKI di Jalan Ponogoro; dan Gereja Kristen Pentakosta di Jalan Arjono, Surabaya. Pengeboman itu melukai hati seluruh umat Kristiani di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.
Watak umat Kristiani bukan pendendam, melainkan selalu mengampuni dan membangun damai bersama di antara manusia. Khusus di Nusa Tenggara Timur, umat jangan mudah terprovokasi. Jangan kaitkan bom itu dengan agama tertentu.
”Tetapi, watak umat Kristiani bukan pendendam, melainkan selalu mengampuni dan membangun damai bersama di antara manusia. Khusus di Nusa Tenggara Timur, umat jangan mudah terprovokasi. Jangan kaitkan bom itu dengan agama tertentu. Aksi teroris dikutuk semua umat beragama di dunia. Teroris tetap teroris karena mereka tidak mengenal agama,” kata Gerardus.
Ia mengatakan, jika ada kegiatan menyalakan lilin di NTT, sebagai tanda keprihatinan atas kejadian di Surabaya, silakan dilakukan di dalam gereja. Namun, tetap meminta pengawalan aparat keamanan. Karena itu, setiap pengurus agama tetap membangun komunikasi dengan aparat kepolisian terdekat.
Tingkatkan kewaspadaan umat Kristiani saat beribadah atau berkumpul bersama. Semua aset atau pusat ekonomi yang dikuasai umat Kristiani agar dijaga dan diwaspadai.
Kepala Badan Intelijen Daerah NTT Daeng Rosada mengatakan sudah berkoordinasi dengan Kepala Polda NTT, Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang, Gubernur NTT, dan para tokoh agama. Semua pihak sepakat tetap meningkatkan kewaspadaan bersama.
Rosada mengingatkan masyarakat NTT agar tidak terhasut informasi melalui media sosial. Masyarakat tidak perlu menyebarkan sejumlah kejadian pengeboman di Surabaya yang beredar di media sosial. Semakin kejadian itu disebarkan, semakin membanggakan pihak teroris.
Ketua GP Ansor NTT Abdul Muis mengutuk serangan bom di Surabaya. Muis mengaku sudah berkoordinasi dengan orang muda Katolik dan kelompok pemuda Kristen, Hindu, dan Buddha di Kota Kupang untuk menjaga keamanan dan ketertiban bersama di NTT.
Kelompok teroris adalah musuh bersama umat beragama di Indonesia, bahkan musuh dunia. Mereka tidak beragama karena setiap agama tidak mengajarkan pembunuhan dan teror terhadap orang lain.
Muis juga mengajak semua GP Ansor di Indonesia Timur berinisiatif mengajak seluruh rumah ibadah di wilayah Indonesia Timur. Kewaspadaan sejak dini itu jauh lebih penting.
”Kita perketat semua ruang gerak mereka sehingga setiap rencana jahat terhadap rumah ibadah, tempat umum, dan pusat-pusat ekonomi dapat dicegah. Jangan biarkan aksi teror itu terjadi, kemudian kita melakukan pengawalan,” kata Muis.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana, Kupang, David Pandie, mengatakan, semestinya pernyataan presiden setelah kerusuhan di Rutan Cabang Salemba, Mako Brimob, di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, ”negara tidak memberi ruang kepada teroris” harus diterjemahkan secara lebih ketat di lapangan oleh semua pihak. Terjemahkan perintah itu, mulai dari hulu sampai ke hilir, tidak hanya di hilir.
”Pencegahan di hulu itu berupa organisasi-organisasi radikal. Tokoh-tokoh politik yang selama ini diduga berafiliasi dengan kelompok teroris terlihat dari komentar dan sikap mereka terhadap pemerintah. Juga sejumlah tokoh agama yang selalu memberikan pemahaman radikal dan cenderung memecah belah umat beragama,” kata Pandie.
Selama ini tindakan pemerintah terhadap teroris adalah menangani aksi para teroris setelah terjadi teror. Pemerintah tidak mencegah lahirnya sel-sel (benih-benih) teroris di dunia pendidikan dengan menindak tegas masuknya kelompok radikal di sekolah, organisasi kemasyarakatan, bahkan pemerintahan.
Jika negara tidak memberi ruang terhadap teroris, berarti pemerintah juga tidak memberikan kesempatan untuk masuknya paham radikal di dalam organisasi kemasyarakatan dan partai politik.