Selasa (3/4/2018) siang, mereka baru selesai membawakan tari gandrung di dasar pantai berkedalaman sekitar 6 meter dalam pembukaan Banyuwangi Underwater Festival 2018. Total ada 12 penari, 8 orang di antaranya memegang umbul-umbul serta 3 orang membawa alat musik tradisional, dan 7 orang sebagai pengaman. Sebagian besar dari mereka berasal dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Brawijaya, Malang.
”Seru. Alhamdulillah lancar,” ujar Lukman (23), salah satu penari. Selain jarak pandang (visibility) yang tidak pasti, menurut Lukman, arus Selat Bali yang deras menjadi tantangan. Menari di dalam laut tidak semudah di darat, apalagi bagi mereka yang notabene tidak berprofesi sebagai penari.
Untuk tampil dalam acara ini, mereka berlatih intensif selama dua bulan, termasuk mengenakan peralatan selam lengkap. Latihan melalui proses bertahap, mulai dari mempelajari gerakan di darat, lalu pindah ke kolam air tawar, kemudian di laut.
”Untuk mengatasi arus, kami memakai sabuk pemberat. Saya juga mengatur napas. Embusan napasnya dilamakan sehingga badan tertekan ke bawah lebih lama,” ujar Mega Zalzalah (20), penari lainnya. Meskipun asli Banyuwangi, ini pertama kali Mega menarikan tarian tradisional setempat.
Tarian tradisional khas Banyuwangi hanyalah salah satu kegiatan yang dilakukan untuk meramaikan Festival Bawah Air pada 4-6 April. Kegiatan menarik lainnya adalah pengamatan ikan nemo atau badut (Amphiprion) selama 48 jam. Sebelumnya, ikan yang biasa hidup di karang ini disebut-sebut telah lama pergi dari perairan setempat. Penyebabnya kondisi terumbu karang di tempat itu rusak akibat perburuan ikan memakai bahan kimia dan peledak.
”Kami sengaja melakukan observasi nemo. Sejak tiga tahun lalu, nemo sudah terpantau di tempat itu,” kata dosen FPIK Universitas Brawijaya, Sukandar, yang membina tari di bawah air itu. Selain nemo, ditemukan juga ikan jenis lain.
Daya tarik
Di luar kegiatan yang dilaksanakan selama festival, kondisi perairan Bangsring cukup menarik. Dari arah pantai itu bisa terlihat Pulau Bali yang ada di seberang selat. Sesekali kita juga bisa melihat kapal besar yang tengah melintas. Begitu pula hilir mudik feri penyeberangan Ketapang-Gilimanuk yang berada 10 kilometer di sisi selatan.
Sejak 2015, Bangsring memiliki rumah apung yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai. Di dekat rumah apung terdapat keramba jaring berisi beberapa hiu sirip hitam. Wisatawan pun bisa berenang dengan ikan yang masih berukuran sekitar 50 sentimeter itu. Bukan hanya hiu, pengunjung juga bisa berinteraksi sembari memberikan makan beberapa ikan liar yang berada di tepi rumah apung.
Bagi yang ingin menyelam atau sekadar snorkeling tak perlu khawatir. Di lokasi terdapat persewaan peralatan selam dan snorkeling.
Saat cuaca cerah, kita juga bisa menyaksikan puncak Gunung Ijen di sisi barat. Bisa juga menikmati suasana pantai sambil bersantai di gazebo-gazebo tradisional yang berada di antara pepohonan. Ada pula sejumlah buku yang disiapkan di rak-rak buku yang ada di pantai itu. Keberadaan rak buku ini membedakan Bangsring dengan pantai lainnya di Indonesia.
Lokasi Bangsring mudah dijangkau. Pantai ini hanya berjarak sekitar 1,5 kilometer dari jalan utama Surabaya-Banyuwangi. Letak Bangsring juga berjajar dengan beberapa pantai lain, seperti Klopoan, Watudodol, dan Mangrove Center Bengkak, yang menjadi tempat konservasi bakau. Wisatawan juga bisa menyeberang ke Pulau Menjangan yang masuk wilayah Taman Nasional Bali Barat.
Pemulihan lingkungan
Ketua Kelompok Nelayan Samudera Bakti Ikhwan Arief mengatakan, kondisi perairan Bangsring perlahan pulih setelah rusak akibat aktivitas nelayan yang menggunakan potasium dalam menangkap ikan. Itu dilakukan sejak tahun 1970-an.
Karena kondisi alam terdegradasi, lambat laun ikan hias makin sulit dicari. Nelayan pun berburu ikan sampai Manado dan Raja Ampat. Di sana pun mereka masih menangkap ikan memakai peralatan tak ramah lingkungan, termasuk bahan peledak.
”Sekitar tahun 2005, nelayan mulai sadar bahwa jumlah ikan hias kian berkurang. Kami bersama lembaga swadaya masyarakat dari Jakarta dan Bali terus berupaya menyosialisasikan tentang cara penangkapan ikan ramah lingkungan. Dari situlah secara perlahan pola pikir mereka berubah dan bersedia melakukan konservasi,” kata Arief.
Konservasi oleh kelompok nelayan pun masih berlangsung. Kegiatan itu antara lain transplantasi terumbu karang, pembuatan apartemen ikan, bersih-bersih karang, serta menentukan kawasan proteksi laut secara swadaya seluas 15 hektar.
Upaya konservasi itu pun berbuah manis. Tahun 2017, kelompok nelayan di kawasan ini memperoleh penghargaan Kalpataru dari presiden karena berhasil mengubah pola pikir dari pengebom ikan berubah jadi aktif merestorasi terumbu karang.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, nelayan Bangsring terus menunjukkan perilaku baik dalam mengembangkan daerahnya. Mereka tak hanya bikin acara untuk mengangkat pamor daerah, tetapi juga memberikan edukasi kepada banyak orang. ”Mereka mengerjakan secara kreatif. Kini, banyak wisatawan, khususnya anak muda, menjadikan laut sebagai tempat berlibur,” katanya.
Jumlah wisatawan domestik ke Banyuwangi hingga November 2017 sekitar 2,7 juta orang. Angka ini melebihi target yang hanya 2,3 juta orang. Wisatawan mancanegara 75.000 orang, melebihi target yang hanya 45.000 orang.