JAKARTA, KOMPAS - Semakin terbatasnya lahan menyulitkan ekstensifikasi kopi. Karena itu, peningkatan produktivitas kopi dalam negeri hanya akan efektif jika digenjot produksi dari selama ini rata-rata 1 kilogram per batang menjadi 3-5 kilogram per batang.
”Saat ini kita tak bisa mengandalkan luas lahan untuk meningkatkan volume produksi kopi nasional. Yang dibutuhkan sekarang adalah meningkatkan produksi pada tiap batang kopi menjadi 3-5 kilogram. Makanya, kami minta para ahli serta pemerintah tolong memikirkan itu dan memberikan kami jalan keluarnya,” tutur petani kopi dan Ketua Koperasi Produsen Saabas di Simalungun, Sumatera Utara, Ludiantoni Manik dalam diskusi panel ”Permasalahan Kopi di Indonesia dan Solusinya” di Jakarta, Sabtu (12/5/2018). Acara itu digelar Dewan Kopi Indonesia.
Dikatakan, petani memerlukan pendampingan untuk bisa mendongkrak produktivitas kopi di kebun. Saat ini, produktivitas masih 1 kilogram per batang kopi, jauh di bawah taraf ideal 3 kilogram. Sebagian besar petani juga masih menerapkan pengolahan tradisional karena tak memiliki peralatan dan teknologi pengolahan hasil panen kopi yang memadai.
Peneliti pada Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), Sutrisno, mengatakan, produktivitas kopi dapat dipacu dengan penerapan budidaya bersistem pagar ganda (high density planting). ”Kita tidak bisa lagi meningkatkan produksi dengan cara memperluas lahan, tapi harus dengan densitas tinggi,” katanya.
Menurut dia, melalui sistem densitas tinggi, lahan yang pada umumnya berpopulasi 1.600 batang kopi, diperpadat menjadi 3.000 batang. Cara itu memungkinkan produktivitas tercapai 3 ton per hektar per tahun, jauh di atas produktivitas nasional yang saat ini di bawah 0,7 ton.
Dalam satu hamparan, kopi ditanam lebih padat sepanjang baris, tetapi diberi jarak sekitar 4 meter pada setiap kolom. Namun, cara ini diperlengkapi pula dengan pemenuhan irigasi dan pemupukan yang layak.
Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia, Surip Mawardi, mengatakan, densitas tinggi budidaya kopi sudah diterapkan di tiga kabupaten, yakni Kerinci, Humbang Hasundutan, dan Karo. Kopi ditanam memadat membentuk pagar itu lebih memungkinkan masuknya sinar matahari. ”Karena mendapat cukup sinar matahari, produktivitas terpacu,” katanya.
Ia mencontohkan, di Siborong-borong, Humbang Hasundutan, produktivitas telah mencapai 2 ton per hektar per tahun saat tanaman masih berusia 3 tahun. Masyarakat memanfaatkan varietas Sigararutang dan Andung Sari.
Sekretaris Jenderal Dewan Kopi Indonesia Jamil Musanif menambahkan, perlunya dikembangkan budidaya kopi terpadu dengan peternakan dan perikanan. Pengembangan ini akan mengangkat kesejahteraan petani.
Mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengingatkan agar pengembangan kopi sejalan dengan kecenderungan pasar. Saat ini, 60 persen perekonomian pasar Indonesia terbentuk dari tingginya konsumsi. Dari sisi volume, porsi terbesar kebutuhan kopi pada jenis robusta untuk memasok pasar industri. Sisanya menyerap kopi bernilai jual tinggi yang dipasarkan lewat lelang. ”Permintaannya 10 persen. Belinya pakai lelang. Tetapi harganya 1 kilogram bisa jutaan rupiah atau ratusan dollar. Ini saya sebut kopi butik,” ujarnya.
Pendekatan pengembangan pasar kopi butik dan kopi massal tak bisa disamaratakan. Pasar kopi spesial lain lagi. Meski serapan kopinya bervolume kecil, mereka menuntut keberlanjutan pasokan. Porsi pasar kopi spesial sekitar 30 persen.
Melihat keragaman pasar, ia mengingatkan agar pengembangan kopi bertolak dari kepentingan pasar. ”Pengembangan kopi tidak bisa lagi diseragamkan. Butuh pendekatan yang berbeda,” lanjutnya.
Pengembang pariwisata kopi yang juga mantan Duta Besar Kolombia Tri Edhi Mulyani menilai sulitnya pengembangan pariwisata kopi Indonesia. Di Kolombia, pariwisata kopi sudah sangat berkembang. Kopi hadir di mana-mana dan mampu menarik minat wisatawan. Pengembangannya pun kreatif, mulai dari pengemasan tur kebun kopi hingga salon bertema kopi.(ITA/JAN)