SLEMAN, KOMPAS - Warga yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi, baik yang berada di wilayah Jawa Tengah maupun Daerah Istimewa Yogyakarta, diharapkan selalu mawas diri dan sadar terhadap bencana. Secara bersamaan, peningkatan koordinasi antarlembaga juga harus dilakukan untuk mengoptimalkan upaya antisipasi jatuhnya korban.
Menteri Sosial Idrus Marham mengatakan, kesadaran terhadap bencana merupakan hal penting untuk dimiliki warga yang tinggal di kawasan rawan bencana. Hal tersebut dapat mencegah jatuhnya korban karena upaya-upaya antisipasi ikut dipikirkan sejak awal.
”Apa yang terjadi itu bisa diatasi dan sudah selesai. Meski demikian, Indonesia ini rawan bencana. Tahun 2018, sudah terjadi 947 bencana. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah membangkitkan semangat bersama kesadaran masyarakat tentang rawan bencana,” kata Idrus saat berkunjung ke Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (12/5/2018).
Letusan freatik ketujuh
Pada Jumat (11/5) pukul 07.40, Gunung Merapi mengeluarkan letusan freatik. Letusan yang terjadi selama 5 menit tersebut memiliki kolom letusan setinggi 5,5 kilometer di atas puncak Merapi. Hujan abu melanda wilayah DI Yogyakarta dan Jateng. Letusan freatik pada Jumat lalu merupakan letusan freatik ketujuh setelah erupsi besar Merapi pada 2010 (Kompas, 12/5/2018).
Idrus mengapresiasi pemerintah dan warga setempat yang berhasil mencegah jatuhnya korban. Apa yang dilakukan itu menunjukkan bentuk kesadaran warga terhadap bencana. ”Yogyakarta ini sudah luar biasa. Jadi, saya kira ada banyak langkah kreatif yang dilakukan dalam rangka mengatasi masalah bencana,” ujarnya.
Ketua Kampung Siaga Bencana Desa Umbulharjo Sriyono mengatakan, saat terjadi letusan, tim dari kampung itu langsung mengevakuasi warga yang tinggal di dekat puncak Merapi. Sebagian warga mengevakuasi secara mandiri terlebih dahulu karena mengetahui terjadinya letusan.
Dalam upaya pencegahan jatuhnya korban, Idrus menyampaikan, lembaga-lembaga terkait harus terus menjalin kerja sama dan meningkatkan koordinasi. Lembaga-lembaga yang dimaksud Idrus adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan. ”Tak bisa sendirian. Kita harus keroyokan, harus gotong royong, dan harus bersama-sama. Prinsip dasar ini harus dikembangkan,” kata Idrus.
Saat itu, Idrus memberikan barang-barang logistik untuk persiapan jika sewaktu-waktu terjadi bencana, seperti masker, selimut, dan makanan.
Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, termasuk salah satu desa yang terdampak erupsi Gunung Merapi pada 2010. Kala itu, beberapa wilayahnya terkena awan panas sehingga luluh lantak. Namun, sejumlah warga ada yang kembali menempati beberapa dusun yang dianggap sebagai kawasan rawan bencana berdasarkan erupsi pada 2010.
Kepala Desa Kepuharjo Heri Suprapto sudah mengingatkan warganya bahwa lokasi tersebut berbahaya. Namun, tak ada yang menghiraukan dan tetap tinggal di tempat itu. ”Sudah saya beri tahu bahwa itu tempat yang berbahaya. Akan tetapi, warga tetap saja membangun di sana,” kata Heri.
Tetap waspada
Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada Djati Mardiatno mengatakan, dalam kondisi gunung api normal sekalipun, masyarakat memang harus dalam kondisi siap siaga menghadapi bencana.
”Mungkin karena kita sudah lama tidak mengalami gangguan dari letusan Merapi, ada sebagian warga yang kaget. Namun, saya kira, respons yang dilakukan masyarakat sudah bagus dan sudah sesuai SOP (standard operating procedure),” ujar Djati.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPT-KG) Hanik Humaida mengatakan, sehari sesudah terjadi letusan freatik, kondisi Gunung Merapi normal. Sejumlah indikator, baik dari sisi kegempaan maupun kondisi suhu di puncak Merapi, tidak menunjukkan adanya peningkatan aktivitas.
Salah satu indikator yang terus dipantau BPPT-KG adalah kondisi suhu di puncak Merapi dengan fokus pada empat area.