SEMARANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Jawa Tengah diminta fokus mengatasi masalah pengangguran melalui program ketenagakerjaan inklusif. Program itu dapat diwujudkan dalam perbaikan akses informasi dan pelatihan keterampilan kerja.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, meski tingkat pengangguran di Jateng turun dari 4,63 persen pada Agustus 2016 menjadi 4,57 persen pada Agustus 2017, jumlah penganggur nyatanya naik. Jumlah penganggur hingga Agustus 2017 mencapai 823.057 jiwa, naik dari periode yang sama tahun lalu, 801.453 jiwa. Adapun jumlah penganggur tahun 2015 sebanyak 863.270 jiwa.
Project Leader Strengthening Coordination for Inclusive Workforce Development in Indonesia (Sinergi) Bambang Wicaksono mengatakan, pemerintah Jateng harus bersiap menghadapi puncak demografi yang diperkirakan mulai tahun 2021 hingga tahun 2023. Jika pemerintah tidak memiliki arah kebijakan ketenagakerjaan yang jelas, bonus demografi bisa berdampak buruk pada kenaikan angka pengangguran.
”Persoalan klasik hingga saat ini, kaum muda tidak dibekali keterampilan kerja yang sesuai kebutuhan pasar,” kata Bambang.
Sinergi merupakan program sosial yang diusung Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Program ini bertujuan memperkuat koordinasi antarpemangku kebijakan untuk pembangunan ketenagakerjaan inklusif di Indonesia.
Sinergi menyoroti lima persoalan ketenagakerjaan di Jateng, yakni pemerintah tidak memiliki data potensi minat dan bakat angkatan kerja muda; akses informasi, pelatihan, dan kesempatan kerja minim di pelosok daerah; ketidaksesuaian kurikulum sekolah dengan kebutuhan perusahaan; jumlah tempat magang kurang; serta tidak ada program pendampingan dan pengembangan kapasitas.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah Provinsi Jateng Sri Puryono mengatakan, pemerintah terus bergerak menurunkan masalah jumlah penganggur. Kurikulum SMK diarahkan mengikuti kebutuhan industri dan permintaan pasar. Hal itu lebih mudah diwujudkan karena kini pengelolaan SMK tanggung jawab pemerintah provinsi. ”Dengan memanfaatkan teknologi informasi, semua hal bisa lebih sederhana, cepat, dan terukur,” kata Sri.
Pelatihan kerja
Program Sinergi tahap pertama akan berlangsung selama 15 bulan di Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Demak, dan Boyolali. Sebanyak 775 kaum muda dari kelompok ekonomi kurang mampu dan rentan akan mendapat pelatihan, pemagangan, dan pendampingan tenaga kerja. Mereka yang dilibatkan hanya berpenghasilan Rp 26.000-Rp 28.000 per hari atau Rp 700.000 per bulan.
”Adapun kelompok rentan, seperti perempuan atau penyandang disabilitas berusia 18-34 tahun,” kata Bambang.
USAID juga memberikan dana hibah sekitar Rp 2,6 miliar untuk pembentukan wirausaha muda. Kaum muda didorong menciptakan usaha di sejumlah bidang sekaligus untuk memperluas lapangan kerja. Mereka akan dibina secara intensif dan dipertemukan dengan pemerintah dan pengusaha. Selama ini ketenagakerjaan inklusif sulit tercipta karena buruknya koordinasi.