Mangrove di Desa Sungai Nibung selain mencegah abrasi juga mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Kepiting bakau yang berkembang di kawasan itu menjadi sumber penghasilan masyarakat. Tak hanya itu, kawasan itu juga menyimpan potensi ekowisata, sehingga mangrove perlu terus dijaga.
Sekitar 100 peserta, antara lain dari Komunitas Earth Hour, lembaga swadaya masyarakat, pelajar SMP Negeri 03 Teluk Pakedai, dan berbagai unsur pemerintah, bersama-sama menanam 2.500 pohon mangrove dan ketapang di Pantai Tengkuyung, Minggu (22/4/2018). Pantai Tengkuyung terletak di Desa Sungai Nibung, Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, sekitar 60 kilometer dari Pontianak.
Mangrove yang ditanam merupakan jenis Rhizophora apiculata. Mangrove-mangrove itu ditanam di pinggir sungai yang masih dalam kawasan Pantai Tengkuyung. Bibit-bibit mangrove diangkut dengan perahu menyusuri tepi sungai. Sementara pohon ketapang ditanam tepat di pantai. Penanaman mangrove dan pohon ketapang itu dalam rangka Hari Bumi.
Panas cukup menyengat. Kaki-kaki peserta mulai menapaki lumpur-lumpur di kawasan hutan mangrove. Ada yang memindahkan bibit dari perahu ke daratan, ada pula yang membuat lubang tempat penanaman. Kemudian, penanaman pun dimulai.
“Luas hutan mangrove di Desa Sungai Nibung pernah mencapai 8.000 hektar. Namun, terjadi abrasi sejak 1971, sehingga kini tinggal menyisakan 4.000 hektar. Maka perlu terus dijaga,” kata Kepala Desa Sungai Nibung Syarif Ibrahim, Minggu (22/4/2018) siang.
Mangrove memiliki fungsi yang penting bagi masyarakat setempat. Berbagai biota laut, misalnya udang dan kepiting bakau hidup di mangrove yang menjadi sumber penghasilan 321 kepala keluarga di desa tersebut. Penduduk di daerah itu merupakan nelayan.
Bahkan, berdasarkan hasil analisa WWF Indonesia, kepiting yang dihasilkan di wilayah kelola Desa Sungai Nibung dan sekitarnya saja diperkirakan 54,3 ton per tahun. Dengan harga jual lokal Rp 100.000 per kg, dalam setahun kawasan ini menghasilkan sekitar Rp 5,43 miliar.
Ekowisata
Pantai Tengkuyung juga memiliki potensi ekowisata. Kawasan mangrove itu sangat potensial sebagai destinasi wisata. Pantai Tengkuyung intensif dijadikan kawasan ekowisata pada 2015 oleh masyarakat setempat.
Pemerintah Kabupaten Kubu Raya mendukung inisiatif itu dengan membangun sejumlah fasilitas, antara lain home stay dan kantin. Lembaga Swadaya Masyarakat memperkuat sisi konservasi. Hanya saja, kawasan itu masih perlu dikembangkan lagi terutama masalah akses ke destinasi dan penajaman konsep yang ditawarkan kepada pengunjung.
Di Sungai Nibung juga sudah ada Kelompok Sadar Wisata. Merekalah yang bertugas membantu wisatawan jika ingin ke Pantai Tengkuyung, misalnya mengurus persewaan perahu cepat (speed boat) dan penginapan. Untuk menuju Pantai Tengkuyung menggunakan perahu cepat sekitar dua jam dari Rasau Jaya, Kubu Raya.
Pantai tengkuyung menjadi tempat pengamatan burung yang bermigrasi dari Siberia, Alaska, dan Eropa. Jenis-jenis burung migrasi tersebut antara lain, Trinil Bedaran (Xenus cinereus), Cerek Pasir Besar (Charadrius leschenaultii), Cerek Pasir Mongolia (Charadrius mongolus), Cerek Tilil (Charadrius alexandrius), dan Kedidi Besar (Calidris tenuirostris). Selain itu, Trinil Pantai (Actitis hypoleucos), Trinil Pembalik Batu (Arenaria interpes), Dara Laut Kecil (Sterna albifrons), Dara Laut Tiram (Sterna nilotica).
Konsultan Burung di WWF untuk Landscape Kubu Abdurahman, mengatakan, burung-burung yang bermigrasi itu datang ke Pantai Tengkuyung banyak berdatangan pada Agustus. Kemudian, akan kembali lagi ke daerah asal pada April.
Burung-burung itu ada yang tujuan akhir migrasinya ke wilayah lain. Namun, dalam perjalanannya mereka singgah termasuk ke pantai di Kubu Raya. Burung-burung itu merasa nyaman karena kebutuhan pakan tercukupi maka ada yang memilih tetap berada di situ dan tidak melanjutkan migrasi ke lokasi lainnya.
“Di Pantai Tengkuyung banyak pakan, antara lain kepiting pasir, cacing pantai, dan kerang. Hutan mangrove yang ada juga membuat pakan burung-burung tersebut terus tersedia,” kata Abdurahman.
Pendiri Kanopi Indonesia Deny Sofian, mengatakan, ekowisata biasanya sangat diminati oleh wisatawan luar negeri. Pengembangan pariwisata di daerah itu perlu mengombinasikan aspek budaya, alam, dan petualangan. Kanopi Indonesia merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pengembangan ekowisata.
Ketiga aspek tersebut dimiliki oleh daerah Desa Sungai Nibung. Wisatawan bisa dibawa melihat proses nelayan menangkap ikan yang masih tradisional dan memasak hasil tangkapan. Selain itu, sisi petualangannya, wisatawan bisa dibawa berkeliling sungai di sekitar pantai dengan perahu.
WWF West Kalimantan Program Manager Albertus Tjiu, mengatakan, Kubu Raya sebagai kabupaten yang memiliki hutan mangrove terbaik di Asia Tenggara dengan komposisi lebih dari 40 jenis mangrove murni merupakan potensi yang luar biasa dalam pengembangan wisata alam. Masyarakat lokal sebagai pelaku bisnis utama wisata alam haruslah dikedepankan dalam pengelolaannya sehingga sinergitas yang mereka sudah bangun selama ini, menjaga hutan dan alam memberikan kontribusi nyata dalam menunjang kehidupannya.
Kemudian dalam konteks pelestarian, upaya menanam haruslah terus dilakukan. Kawasan yang terdeforestasi perlu dikembalikan ke fungsi ekologinya yang pada gilirannya ketika sudah kembali utuh hutannya akan memberikan fungsi ekonomi.
Selain itu perhatikan pula tantangan terkait dengan kesehatan perairan dan hutan mangrove. Polutan dan limbah plastik laut menjadi salah satu hal serius yang harus dikendalikan mulai dari level pengambil kebijakan sampai di tingkat konsumen.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.