Di antara puluhan korban bom Surabaya, terdapat tujuh anak-anak pelaku dan terduga teroris. Mereka butuh perlakuan khusus karena telah menjadi korban jauh sebelum ledakan. Negara bertanggung jawab memulihkan kondisi psikologis mereka.
Ketujuh anak ini dirawat di tiga ruang berbeda. Di salah satu ruangan terdapat AAP (8), korban selamat yang dilibatkan oleh orangtuanya, Tri Murtiono dan Tri Ernawati, dalam peristiwa bom bunuh diri di Markas Polresta Surabaya, Senin (14/5/2018).
Di ruangan lain terdapat FP (11), GH (10), dan AR (15), anak dari Anton Ferdianto dan Sari Puspita Rini. Anton dan Sari merupakan terduga teroris yang tewas akibat ledakan bom rakitan sendiri di Rusunawa Wonocolo, Taman, Sidoarjo.
Selain itu, di ruang terpisah ada tiga anak Dedy Sulistiyanto yang tewas dalam peristiwa penggerebekan terduga teroris di Jalan Sikatan, Tandes, Surabaya, yakni DNS (14), AZ (10), dan HA (7).
Rabu kemarin, ketujuh anak ini dikunjungi sejumlah pihak, antara lain tim dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Sekjen LPAI Henny Adi Hermanu menuturkan pertemuan dengan tujuh anak yang menjadi korban paham radikal orangtuanya. ”Kondisi mereka semakin baik. Dari yang semula benar-benar tertutup, kini mulai mau berinteraksi,” ujarnya.
HA, misalnya, sudah berani meminta mainan. Kepada perawat yang menjaga, HA meminta robot. Sementara anak lain memberanikan diri minta telur sebagai menu makan.
Para perawat dan pendamping psikolog terus berupaya mewujudkan permintaan mereka. Segala hal dilakukan agar mereka nyaman. Kendati ada televisi di setiap kamar, mereka tidak bisa mengakses. Mereka juga tak boleh memakai gawai.
Dalam tekanan
Ketua Umum LPAI Seto Mulyadi mengisahkan, saat diajak bermain, salah satu anak menunjukkan keheranan. Anak tersebut bertanya, ”Oh, boleh bermain?” Dugaan Seto, selama ini anak-anak tersebut hidup dalam tekanan.
”Anak-anak merupakan pribadi yang sangat mudah dipengaruhi. Dalam kondisi ini mereka tak bisa disalahkan. Mereka ini korban. Mereka dikorbankan oleh orangtuanya yang menanamkan paham-paham radikal,” kata Seto.
Dari tujuh anak yang dikunjungi, kondisi kejiwaan AAP paling terguncang. Betapa tidak, ia terlibat dalam peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan ayah, ibu, dan kedua kakaknya.
Kemarin, AAP masih banyak menutup mulut dan enggan memandang orang-orang yang mengunjungi. Pertanyaan sudah makan atau belum hanya ia jawab dengan anggukan.
Berbeda dari AAP, AR anak Anton lebih mudah bergaul dengan tamu. Sejak mengetahui bahwa orangtuanya berpaham radikal, ia memilih tinggal bersama neneknya. Ia juga satu-satunya dari tiga anak Anton dan Sari yang mengenyam pendidikan formal.
Kepada salah satu tim psikolog, AR pernah mengutarakan cita-citanya. ”Ia ingin jadi pengusaha. AR masih punya
optimisme hidup. Ia berhak memiliki masa depan cerah,” ujar Henny.
Kepala Polda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin mengatakan, anak-anak pelaku teror ini diperlakukan dengan layak sebab merupakan korban dari kekerasan orangtuanya. Anak-anak ini didampingi tim khusus yang memberikan konseling dan hiburan untuk memulihkan kondisi psikologisnya.
”Anak-anak ini akan kami serahkan kepada keluarganya setelah proses deradikalisasi. Sebab, mereka sudah terdoktrinasi oleh orangtuanya sehingga memiliki paham radikal,” ujarnya.
Tidak hanya deradikalisasi, polisi juga tak akan menyerahkan anak-anak ini kepada sembarang anggota keluarga. Anak-anak pelaku teror akan diserahkan kepada keluarga yang tidak menganut paham radikal.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, setiap anak berhak mendapat perlindungan. Pelibatan anak dalam peledakan bom termasuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak.
Para teroris pernah mencabut kesempatan anak-anak tersebut tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Mereka tak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun, kini bukan berarti mereka tidak berhak atas masa depan cerah.
(Angger Putranto/Runik Sri Astuti)