Aksi teroris di Surabaya, Jawa Timur, mengoyak kohesi sosial masyarakat. Tak hanya enggan mengenal lagi, warga secara spontan juga menolak jasad pelaku dikuburkan di tempat mereka. Ini bukti radikalisme tak punya ruang di masyarakat.
Taburan bunga di makam Daniel Agung Putra Kusuma (15), di Makam Putat Gede, Kecamatan Sawahan, Surabaya, belum mengering saat polemik muncul. Sekitar 200 meter dari makam korban ledakan bom Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Jalan Arjuno, itu tujuh makam digali bagi pelaku bom bunuh diri. Di antaranya Dita Oeprianto (48), pelaku peledakan bom di GPPS yang menewaskan Daniel.
Penggalian tujuh makam dilakukan seusai pemakaman Daniel, Selasa (15/5/2018). Wina (35), warga setempat, menuturkan, mereka menolak pemakaman pelaku teror bom Surabaya di situ. Terlebih, di tempat tersebut dimakamkan salah seorang korban bom.
”Secara psikologis, warga tidak sanggup melihat korban dan pelaku bom dimakamkan di satu kompleks,” katanya.
Penolakan terhadap pemakaman teroris di lingkungan mereka mulai muncul Senin. Puncaknya, Kamis petang, puluhan warga beramai-ramai menutup kembali tujuh liang lahat di kompleks makam sebelah barat.
”Setelah tahu lubang akan digunakan untuk mengubur teroris, warga berkumpul dan menutup kembali makam dengan tangan dan cangkul,” katanya.
Menurut Camat Sawahan Yunus, meski makam yang hendak dipakai untuk memakamkan pelaku bom bunuh diri berstatus tanpa tempat tinggal tetap (T4), pemerintah kota tidak bisa memaksa. Beberapa hari sebelum penggalian tujuh liang kubur, dia sudah membahas penolakan warga, terutama warga RW 008, dengan koramil dan polsek.
”Daniel dimakamkan di sebelah timur. Masak sebelah barat mau dikasih ke teroris yang ngebom. Efeknya pasti luar biasa bagi warga dan keluarga Daniel. Kelak pasti ada ucapan, ’Itu lho makam yang dulu ngebom gereja,’” kata Yunus.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pun berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia mengirim surat kepada MUI meminta solusi atau fatwa soal penolakan pemakaman. ”Saya sudah berkirim surat kepada MUI. Kita tunggu fatwa MUI. Jangan sampai ada gesekan yang semakin besar dengan masyarakat,” ujarnya.
Ditolak keluarga
Tak hanya warga, keluarga dekat para pelaku bom pun menolak. Salah satunya disampaikan Rusiono, kerabat pelaku bom bunuh diri Puji Kuswati yang tinggal di Banyuwangi.
”Puji bukan warga Banyuwangi lagi. Sejak kecil dia ikut saudara di Magetan. Lebih baik dia dikuburkan bersama suaminya di Surabaya. Lagi pula saat keluarga tidak merestui pernikahannya, ia bersikukuh menikah dengan Dita,” ujarnya saat dihubungi dari Surabaya.
Hal serupa terjadi pada keluarga Tri Murtiono, pelaku bom bunuh diri Mapolrestabes Surabaya yang tewas bersama istrinya, Tri Ernawati, serta anaknya, DAM dan DSM. Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin mengatakan, penolakan terhadap Tri beserta istri dan anaknya justru dari keluarga besarnya.
”AAP, anak bungsu Tri Murtiono dan Tri Ernawati yang selamat dari aksi mengerikan tersebut, saat ini ditemani kakeknya. Tapi, si kakek hanya mau mengakui AAP sebagai keluarganya. Ia tidak mau mengakui ayah, ibu, dan kedua kakak AAP sebagai bagian dari keluarga,” kata
Machfud.
Penolakan terhadap pelaku bom bunuh diri mencuat setelah yang bersangkutan melakukan aksi radikal. Sebelumnya, mereka diterima oleh warga di sekitar tempat tinggal mereka.
Supardi (46), Ketua RT tempat tinggal Budi Satrio, terduga teroris yang tewas dalam penggerebekan di Puri Maharani, Sidoarjo, mengatakan, selama ini Budi tidak menutup diri.
”Kami bertetangga sejak 2006. Setahu saya tidak pernah ada masalah dengan tetangga. Hubungannya baik-baik saja,” katanya. Prasetyo kecewa orang yang dikenalnya selama ini ternyata melakukan hal-hal di luar norma sosial.
Hingga Jumat sore, dari 13 jenazah pelaku bom, baru tiga yang diserahkan ke keluarga, yakni suami-istri Anton Ferdianto-Sari Puspitarini dan anak mereka, HAR. Mereka tewas saat meledakkan diri di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Minggu. Ketiganya dimakamkan di Kelurahan Pucang, Kabupaten Sidoarjo. Makam itu khusus bagi orang tak dikenal, tak diketahui asal-usulnya, atau ditolak keluarga.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Akhmad Muzaki, menilai, penolakan warga Surabaya terhadap para pelaku bom bunuh diri merupakan sinyal kemarahan dari masyarakat. ”Ini sinyal agar tidak ada lagi yang merusak norma sosial yang selama ini terjaga baik,” ujarnya.
Sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Karnaji, menyatakan, penolakan warga merupakan bentuk sanksi sosial bagi orang- orang yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Masyarakat Indonesia lebih mengadopsi sanksi sosial ketimbang kontraktual.
”Kalau sanksi kontraktual, dengan membayar uang untuk menebus liang lahat saja mungkin cukup. Namun, sanksi sosial sulit dipulihkan,” ujarnya. Penolakan juga bukti aksi teror telah menjadi musuh bersama.
Paham radikal nyata mencabik sisi-sisi kemanusiaan publik. Harapannya, sikap spontan warga Surabaya menolak teroris tak hanya terjadi ketika tragedi, tetapi juga mengakar dalam sikap hidup sehari-hari. Jika dulu ”Arek-arek Suroboyo” tak kenal takut melawan penjajah, kini semangat yang sama digelorakan untuk mengusir paham radikal.