Cinta Toleransi di Bulan Suci
Harapan bisa tumbuh di mana saja. Di Indonesia, negeri penuh keberagaman, harapan itu tak pernah mati ketika masih banyak orang rajin menyiramnya dengan cinta.
Wilhelmus Jeramu (40) tidak puasa. Dia pemeluk agama Katolik. Namun, dia sangat sibuk mempersiapkan sahur bersama bersama jemaah Masjid Al Ikhlas, Desa Jelegong, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (19/5/2018).
Di antara dingin subuh yang menusuk tulang, bersama warga Jelegong lainnya, pengurus Lingkungan Santa Faustina di Paroki Santa Odilia, Kota Bandung, ini tengah menyambut tamu besar. Dia adalah istri presiden ke-4 Republik Indonesia, Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, yang membawa pesan perdamaian dan toleransi.
”Bersama rekan-rekan yang menjalankan ibadah puasa, saya ingin mendengarkan nasihat beliau yang kaya sikap saling menghargai dan membangun toleransi,” kata warga Jelegong ini. Tamu yang ditunggu tiba tepat pukul 03.00. Diiringi shalawat, Shinta datang ditemani beberapa perwakilan organisasi keagamaan, seperti Keuskupan Bandung dan Gereja Kristen Indonesia (GKI).
Kedatangan Shinta semakin membuat Wilhelmus semakin sibuk. Ia membantu mengedarkan makanan sahur bagi peserta yang hadir dalam acara itu. Dia baru duduk tenang saat sahur sudah usai dan Shinta mulai memberi ceramah tentang kebangsaan dan toleransi demi kerukunan umat beragama.
Harapan Wilhelmus terwujud. Ceramah Shinta menenangkan. Berulang kali, Shinta mengingatkan agar masyarakat Indonesia hidup rukun dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Itu semua disampaikan ringan dan penuh canda.
”Di sini berbagai suku ada. Orang Sunda ada, Orang Jawa ada, Orang Batak ada, Orang Minang ada. Orang Madura, ada tidak? Kalau tidak ada, mungkin masih jualan sate,” kelakar Shinta, disambut gelak tawa peserta.
Bulan Ramadhan, kata Shinta, menjadi saat tepat mengamalkan moral dan budi pekerti luhur bagi Muslim. Bulan suci ini menjadi ajang untuk mengubah seseorang menjadi lebih baik, tidak berprasangka buruk, dan menumbuhkan toleransi.
”Kita saling introspeksi diri, merenung. Apakah puasa ini hanya ritual tahunan saja atau membentuk diri menjadi lebih baik,” ujarnya, diamini banyak peserta yang hadir di sana.
Perjalanan Shinta datang ke sejumlah tempat di Indonesia saat sahur dan buka puasa pada bulan puasa ini rutin dilakukannya sejak 16 tahun lalu. Jadi tokoh keberagaman, kedatangan Shinta tak hanya disambut Muslim, tetapi juga warga beragama lain.
Ia selalu mengajak banyak orang dari beragam suku dan kepercayaan ikut hadir bersamanya. Beberapa jam sebelumnya, ia bahkan sempat berbuka puasa bersama di RW 012 Babakan Ciparay, Kota Bandung. Kawasan ini adalah salah satu kampung toleransi di Kota Bandung.
Di kampung ini, Shinta berharap kerukunan antarumat beragama terus dijaga. Ia mengatakan, kerukunan itu adalah kunci menjaga kesatuan Indonesia tetap abadi. Dalam kegiatan ini, turut hadir perwakilan organisasi-organisasi lintas agama di Bandung. Mereka memiliki satu pemahaman, menginginkan Indonesia yang damai dan penuh toleransi.
”Ramadhan tidak hanya berfungsi sebagai ibadah, tetapi juga menjadi wadah untuk menerapkan kerukunan antarumat beragama,” katanya.
Shinta juga berpesan, setiap masyarakat harus berhati-hati dan jangan cepat terhasut dengan ujaran kebencian dan provokasi. Teror yang dilakukan kalangan tertentu juga menjadi bagian memecah belah persatuan Indonesia.
”Perbuatan mereka sangat tidak manusiawi, yang menjadi korban adalah rakyat sendiri. Kita harus betul-betul menyatukan langkah, bergandengan tangan untuk mengatasinya. Jangan sampai kejadian ini terulang dan mengobrak-abrik keutuhan bangsa,” kata Shinta.
Semua umat
Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Bandung Fabianus Muktiyarso, yang hadir menemani Shinta, berharap kegiatan buka puasa bersama dengan mengundang berbagai organisasi lintas agama bisa menumbuhkan toleransi antarumat beragama. Ia berujar, meskipun Ramadhan adalah bulan ibadahnya Muslim, bulan suci ini menjadi momentum yang tepat untuk menumbuhkan toleransi bagi semua manusia beragama.
”Ramadhan adalah momen yang tepat karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim. Bulan suci ini menjadi momen untuk mengendapkan diri, saling mendamaikan, dan menghayati ajaran agama yang sebenarnya bertujuan untuk kedamaian,” ujarnya.
Endan Suhendar (66), Ketua RW 012, bersyukur Shinta mau singgah. Dia yakin kedatangan Shinta menjadi energi bagi kemajemukan warga. Endan tak asal bicara. Warganya berasal dari suku bangsa. Warga keturunan India, China, Jawa, dan Sunda hidup berdampingan. Beragam kegiatan selalu dilakukan bersama, termasuk saat menjaga keamanan tempat tinggal mereka.
Kehidupan beragama di sana juga berjalan mulus. Di Babakan Ciparay, ada tiga rumah ibadah hidup berdampingan, Gereja Katolik Gandarusa, Masjid Al-Amanah Sumber Sari Bandung, dan Yayasan Buddha Cakrawala Dharma Indonesia. Keteladanan dari Babakan Ciparay bahkan menjadi contoh bagi Pemerintah Kota Bandung hendak membangun 30 kampung toleransi lainnya.
”Di sini seperti Indonesia mini. Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, semua agama ada. Toleransi memang menjadi modal utama kami. Kami berkomunikasi satu sama lain,” kata Endan.
Subuh pun semakin tua di Jelegong. Shinta dan rombongannya beranjak pulang. Namun, semangat Wilhelmus belum usai. Ia masih saja bersemangat membenahi sisa pertemuan itu. Bersama jemaah masjid, ia membersihkan sisa makanan dan sampah yang ditinggalkan peserta sahur bersama itu. Sebentar lagi, shalat subuh akan digelar.
”Saya senang sekali hari ini. Ada banyak pesan yang diberikan Ibu Shinta tentang menjaga kerukunan antarumat beragama. Semuanya menjadi bekal bagi saya untuk hidup bersama dalam keberagaman di Indonesia,” kata Wilhelmius semringah.
Pesan kedamaian dalam perbedaan dari Bandung jelas menjadi modal baik untuk masa depan Indonesia. Di tengah ulah teror kalangan tertentu, harum bunga cinta masih ada di republik ini.