Status Merapi Dievaluasi
Senin (21/5/2018), Gunung Merapi mengalami letusan freatik tiga kali. Karena itu, statusnya akan dievaluasi. Masyarakat tidak panik karena menilai letusan itu tidak membahayakan.
YOGYAKARTA, KOMPAS Gunung Merapi mengalami tiga kali letusan freatik, Senin (21/5/2018). Status Merapi akan dievaluasi. Sebagian warga mengungsi.
”Benar, terjadi letusan freatik lagi, Senin pukul 17.50, dengan durasi 3 menit,” kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida saat dihubungi, Senin malam.
Hanik mengatakan, saat letusan terjadi, terdengar suara gemuruh di Pos Pengamatan Gunung Merapi di Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tinggi kolom letusan tidak teramati karena ada kabut tebal.
Letusan freatik merupakan letusan akibat tekanan uap air yang terbentuk setelah ada interaksi antara air dan material panas di tubuh gunung api. Letusan freatik pertama terjadi Senin pukul 01.25 dengan kolom letusan 700 meter dan durasi 19 menit.
Letusan freatik kedua terjadi Senin pukul 09.38 dengan kolom letusan 1.200 meter dan durasi letusan 6 menit. Dua letusan freatik itu menyebabkan hujan abu di sejumlah wilayah lereng Merapi. Sebelumnya, 11 Mei 2018, Merapi mengalami letusan freatik dengan kolom letusan 5.500 meter dan durasi 5 menit.
Letusan freatik ketiga ini memiliki amplitudo 50 milimeter (mm). Amplitudo letusan freatik pertama 20 mm. Letusan freatik kedua beramplitudo 23 mm.
Secara umum, warga tak panik menghadapi letusan freatik Merapi. Masyarakat di sekitar Gunung Merapi, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, tahu letusan jenis itu tak berbahaya. ”Aktivitas warga berjalan seperti biasa. Wisata juga masih berjalan,” kata Kepala Desa Kepuharjo Heri Suprapto.
Namun, debu vulkanik yang tersebar ke arah barat gunung mengganggu aktivitas pendidikan. Murid SD Negeri Kemiren, Kecamatan Srumbung, pulang dua jam lebih awal.
Menurut peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi yang dibuat berdasarkan erupsi tahun 2010, wilayah Desa Kepuharjo, Kabupaten Sleman, DIY, termasuk wilayah rawan. Desa tersebut masuk KRB II. Semakin tinggi angka, semakin rawan.
Di Dusun Jambu, warga beraktivitas seperti biasa. Wisatawan juga masih ada. Setidaknya ada lima orang datang dalam waktu satu jam di makam Mbah Maridjan, Cangkringan, destinasi wisata di lereng Merapi.
Kerap terjadi
Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG Agus Budi Santoso mengatakan, dari sejarah, Gunung Merapi kerap mengalami letusan freatik setelah terjadi letusan besar, antara lain setelah letusan besar tahun 1872, 1930, dan 2010. Data BPPTKG, setelah erupsi tahun 2010, ada 10 kali letusan freatik, termasuk tiga kali letusan pada Senin.
Agus mengatakan, pihaknya akan meneliti sampel abu di sejumlah lokasi di Kabupaten Magelang. Tujuannya untuk mengetahui apakah letusan freatik berpotensi menjadi letusan magmatik atau tidak. ”Kami akan meneliti komposisi sampel abu. Jika ada juvenil (material magma baru), bisa disimpulkan Gunung Merapi berpotensi mengeluarkan letusan magmatik,” ujarnya.
Letusan freatik ditambah dengan embusan angin ke arah barat gunung memicu hujan abu hingga radius 17 kilometer dari puncak Merapi. Di jarak itu ada Desa Jumoyo, Kecamatan Salam. Meski tebal kurang dari 1 milimeter, warga sempat khawatir.
Tikno (45), warga Desa Jumoyo, menuturkan, ia bergegas menanyakan aktivitas vulkanik Gunung Merapi ke pos pengamatan Merapi terdekat di pos Ngepos, Kecamatan Srumbung. Tikno lega saat tahu Merapi masih berstatus aktif normal.
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Pranowo mengatakan, hingga Senin siang, hujan abu terdata di sembilan desa di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Dukun dan Srumbung. Pendataan lokasi terdampak berikut dampak kerusakan terus dilakukan oleh BPBD. Warga diimbau tenang.
Hujan abu dari letusan freatik pertama dirasakan para pengemudi truk pasir di kawasan penambangan, 8 kilometer dari puncak Merapi. Sunaryo (35) mengatakan, semula ia dan para pengemudi serta kru petambang tetap tenang dan menunggu hujan reda di truk. Namun, 10 truk meninggalkan lokasi.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sleman Makwan mengatakan, erupsi freatik ketiga disusul dengan hujan abu dan suara gemuruh. Warga pun mengevakuasi diri secara mandiri mulai pukul 18.30 ke Balai Desa Glagaharjo. ”Karena rumah terlalu dekat, mereka merasa tidak aman. Mereka mengungsi untuk malam ini,” kata Makwan yang dihubungi, Senin malam.
Makwan mengatakan, hingga pukul 20.00, ada sekitar 200 warga mengungsi di balai desa. Warga yang mengungsi itu sebagian besar terdiri dari warga lansia, anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui.