Penyelamat yang Terabaikan
Hama karat daun yang mematikan banyak kopi arabika pada awal abad ke-20 menjadi tiket masuknya robusta ke Nusantara. Kisah robusta bermula dari 150 biji kopi yang dibeli dari Belgia tahun 1900. Kopi mendarat pertama kali di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Mulanya begitu semarak, tetapi puluhan tahun kemudian kisah robusta meredup. Sang penyelamat itu bahkan menyandang stigma sebagai kopi kelas dua, setelah arabika.
Di tengah hiruk-pikuk geliat kopi, nasib robusta bagaikan anak tiri. Ia dianggap kurang istimewa. Menjadi nomor dua, setelah arabika. Padahal, dalam peta kopi Nusantara, robusta sesungguhnya sebagai tulang punggung.
Richard (28), warga Talang Mekenang, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, menjemur kopi di pekarangan rumahnya, Sabtu (12/5/2018). Ribuan buah kopi beraneka warna dihamparkan di atas terpal berwarna biru. Ada buah kopi berwarna merah, tetapi banyak pula yang hijau dan kuning sehingga tampaklah seperti pelangi tak beraturan.
Di sana adalah salah satu sentra robusta. Tanaman dipanen dengan proses kematangan yang beragam. Bahkan dipanen asalan. Ada yang dipetik saat sudah matang berwarna merah tua. Namun, ada pula masih hijau dan kuning pun ikut dipetik. Petani beralasan, mereka butuh uang cepat.
Kalau memetik hanya buah merah, menurut Richard, setiap 1 hektar hanya didapatkan sekitar 20 kilogram dalam sehari. Apabila memetik serentengan buah pada dahan sekaligus, diperoleh hampir 100 kilogram. ”Bagi kami, yang penting biji kopi bisa langsung dijual,” katanya.
Richard sadar memetik buah asalan akan mengurangi kualitas kopi. Harga pun akan jatuh. Namun, dia tak peduli dengan kondisi itu. Untuk petik asalan, harga biji sekitar Rp 22.000 per kilogram. Kalau petik hanya buah merah, harganya bisa Rp 30.000.
Petani lain di Lahat, Zuljalali (40), memberi alasan lain. Serangan hama dan cuaca yang tidak menentu ikut menjadi pemicu. Lebih parah lagi, maraknya pencurian membuat petani terpaksa memanen lebih dini dalam kondisi buah kopi yang belum matang.
”Kalau menunggu buah kopi matang baru panen, sering kali kami tidak mendapatkan hasil karena buah-buah kopi ludes dicuri orang. Apalagi jarak rumah dan kebun kopi cukup jauh. Daripada kami tak mendapatkan hasilnya, lebih baik panen lebih dini sekalipun kualitasnya rendah,” tambah Hebriyansyah (36), petani kopi di Desa Gisting, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Tidak hanya pemetikan. Proses penjemuran kopi robusta pun umumnya masih sembarangan. Ada petani menjemur biji kopi dengan beralas terpal. Ada sebagian lain menjemur langsung di atas lantai semen atau tanah. Ketika biji kopi dibolak-balik, tanah dan batu-batu kecil ikut tercampur.
Tak jarang pula petani menjemur kopi di atas jalan aspal. Tujuannya agar biji kopi yang telah kering dapat terkupas saat dilindas kendaraan yang melintas. Jadilah kopi-kopi itu beraroma ban karet atau oli mesin.
Kebiasaan memetik buah dan cara olah yang sembarangan tidak hanya terjadi di Lahat dan Lampung, tetapi juga di Jawa Timur dan sebagian besar wilayah penghasil kopi robusta.
Saat beberapa petani sudah mencoba menaikkan standar mutu, kadang harga yang ditawarkan tidak sepadan. Ketua Kelompok Tani Loh Jinawi Desa Way Harong Trubus di Lampung, Widodo, mengaku, kopi petik merah yang telah diolah dengan baik sekalipun tak mendapatkan harga setimpal.
”Pernah ada yang menawar harga lebih tinggi, tetapi hanya selisih Rp 2.000 per kilogram. Harga itu tidak sebanding dengan biaya tambahan yang harus kami keluarkan,” katanya. Biaya tambahan yang dimaksud petani adalah biaya tenaga untuk petik merah, tempat penjemuran khusus, dan waktu yang tersita untuk memproses kopi berstandar baik.
Sejarah robusta
Buku 100 Tahun Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Tahun 1911-2011 mencatat, kisah robusta bermula dari 150 biji kopi robusta yang dibeli seharga 2 franc dari I’Horticulture Coloniale Brussels, Belgia, pada 30 Juni 1900. Diangkut dengan kapal SS Gendeh milik Rotterdamsche Lloyd dari Pelabuhan Rotterdam, Belanda, biji kopi robusta pertama kali mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Saat itu, hama karat daun telah mematikan banyak kopi arabika. Inilah menjadi tiket utama masuk robusta ke bumi Indonesia. Ditanam pertama kali di Kebun Soember Agoeng (tenggara Kota Malang) oleh Tuan Rauws, sekretaris dewan direksi perusahaan perkebunan Cultuur Mij Soember Agoeng, robusta kemudian menyebar di kebun Wringin Anom dan Kalibakar di Malang.
Setahun kemudian, giliran Kedirische Landbouw Vereniging (gabungan pengusaha perkebunan di wilayah Kediri) mendatangkan bibit robusta. Kali ini, bibitnya dibagikan kepada 20 maskapai (perusahaan) perkebunan yang menjadi anggotanya.
Pemerintah kolonial Belanda tidak mau kalah. Kira-kira dalam kurun waktu yang sama, sebanyak 24 bibit kopi robusta dari Brussels, Belgia, juga ditanam di kebun percobaan pemerintah di Bangelan, Malang (lereng Gunung Kawi). Selanjutnya, lewat kolaborasi pemerintah dan swasta, robusta menyebar dan mengakar di sejumlah daerah di Tanah Air.
Puluhan tahun kemudian, keberadaan bibit-bibit pionir itu tidak terlacak lagi. Robusta, sang penyelamat, bahkan berstigma sebagai kopi kelas dua setelah arabika. Padahal, dari total produksi kopi nasional 639.305 ton tahun 2016, misalnya, sekitar 70 persen diekspor. Dari total volume ekspor kopi itu, 90 persen merupakan jenis robusta. Bukan itu saja. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, 86 persen dari 1,2 juta hektar perkebunan kopi di Indonesia adalah robusta. Bahkan, sekitar 2 juta petani bergantung pada kopi jenis ini.
Stagnasi
Adi Haryanto, anggota Dewan Kopi Indonesia, mengatakan, produksi kopi Indonesia mencapai 11 juta karung (60 kilogram per karung). Sebanyak 40 persen di antaranya diserap pasar domestik dan 60 persen diekspor. Dari total produksi itu, komposisi robusta mencapai 75 persen dan arabika 25 persen. Ekspor robusta bahkan menguasai 18,4 persen pasar robusta global alias terbesar ketiga dunia.
Yang menjadi tantangan adalah angka produksi yang stagnan. Produksi robusta Nusantara dikhawatirkan tak mampu lagi memenuhi kebutuhan pasar kopi. Jika tak diantisipasi, Indonesia bisa menjadi importir kopi dunia.
Adi yang menjabat Komisaris PT Kapal Api Global menceritakan, sebelumnya perusahaan itu memanfaatkan kopi robusta dari salah satu daerah di luar Jawa. Mutunya cukup bagus. Namun, belakangan pasokan kopi dari daerah itu tidak stabil sebab volumenya tak mencukupi besarnya kebutuhan PT Kapal Api Global. Bahan baku pun terpaksa didatangkan dari daerah lain di Jawa yang suplainya lebih stabil dan kontinu.
Secara kuantitas, produktivitas kopi nasional masih rendah, hanya 0,7 ton per hektar per tahun. Itu jauh di bawah potensi produktivitas kopi nasional 3 ton. Bahkan, dalam buku arah Kebijakan Kopi Indonesia: Menghadapi Tantangan Kompetisi Perubahan Iklim dan Kondisi Perubahan Dunia, yang diterbitkan Kementerian Koordinator Perekonomian, disebutkan luas lahan robusta terus menyusut dari 1,17 juta hektar pada 2010 menjadi 887 hektar tahun 2017. Sebagian lahan beralih ke arabika atau komoditas lain seperti tebu, kelapa sawit, dan karet yang lebih menghasilkan uang.
Pengamat ekonomi dan mantan Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, mengingatkan pemerintah agar jangan sampai salah mengurus perkopian nasional. Pengembangan kopi robusta tidak bisa disamakan dengan arabika. Berbeda dengan arabika yang menyasar pengembangan kopi spesial dan ala butik, robusta lebih banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri. ”Tidak bisa keduanya diperlakukan sama. Harus dilihat peta pasarnya,” katanya.
Penasihat kebijakan Menteri Koordinator Perekonomian, Lin Che Wei, juga menilai kopi robusta punya peluang besar. Untuk memenuhi kebutuhan industri kopi dalam negeri saja selama ini belum mencukupi. Sejumlah industri bahkan terpaksa mengimpor bahan baku robusta dari Vietnam, yang juga menawarkan harga lebih murah.
Bahkan, dampak peningkatan suhu, sekitar 50 persen lahan yang cocok untuk perkebunan kopi di dunia akan tereduksi pada 2050. Lahan itu bakal cocok untuk ditanami robusta. Itu sebabnya, para ahli memprediksi kopi robusta akan menjadi masa depan dan tulang perkopian. Kekuatan ini perlu dikembangkan.