Bergerak Bersama Kembali Bersekolah
Brebes masih dihantui tingginya tingkat kemiskinan. Pemerintah setempat sadar, kemiskinan hanya dapat ditekan melalui pembangunan kapasitas manusia. Melalui jejaring dengan sejumlah pihak, digagas Gerakan Kembali Bersekolah.
Medio 2017, selepas lulus SMP, Irfan Fauzi (17) tak melanjutkan sekolah. Akibat keterbatasan biaya, dia memilih merantau, berdagang buah di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kala kembali ke desa, harapan bersekolah kembali mekar. Relawan-relawan Gerakan Kembali Bersekolah berhasil meyakinkan Irfan untuk mengenyam pendidikan menengah atas.
”Sebenarnya ingin melanjutkan sekolah, tetapi orangtua tak ada biaya. Jadi, saya berdagang buah selama empat bulan, lalu kembali ke desa,” ujar Irfan saat menceritakan pengalamannya, Selasa (8/5/2018). Dia kini tercatat bersekolah di SMK Ma’arif NU Paguyangan Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan.
Rekan Irfan, Wahyudin (17), memiliki alasan lain untuk tidak melanjutkan pendidikan ke SMA. Dia mengakui, rasa malas menjadi penyebab utama, selain rasa tak tega karena harus meminta uang kepada orangtua untuk keperluan harian. Dorongan orangtua juga kurang sehingga dirinya memilih ikut bercocok tanam di sawah.
Namun, lama-kelamaan Wahyudin sadar pentingnya bersekolah. Terlebih adanya dorongan semangat dari para relawan program Gerakan Kembali Bersekolah. ”Bagaimanapun, saya juga ingin memiliki pekerjaan dan penghasilan sendiri. Untuk mendapat pekerjaan, saya harus lulus SMA dulu. Jadi, saya mau ikut melanjutkan pendidikan di SMK Ma’arif,” ujarnya.
Gerakan Kembali Bersekolah (GKB) diinisiasi Pemerintah Kabupaten Brebes dengan melibatkan sejumlah pihak, termasuk swasta dan elemen masyarakat. Gerakan ini juga didukung Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (Kompak), yang merupakan bentuk kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia dalam mendukung program penanggulangan kemiskinan.
Pada 2017, GKB telah membuat 1.212 anak kembali ke sekolah, meliputi 643 anak masuk sekolah informal dan 569 ke pusat kegiatan belajar masyarakat. Proyek percontohan dilakukan di tiga desa di Kecamatan Paguyangan, Brebes, yakni Wanatirta, Kedungoleng, dan Cipetung.
Pendataan menyeluruh
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Brebes tahun 2018 mengalokasikan Rp 5,7 miliar untuk menyekolahkan kembali anak-anak putus sekolah. Pendataan anak tidak sekolah yang dilakukan desa dan sekolah dikoordinasikan camat dan UPT dinas pendidikan di seluruh kecamatan untuk melengkapi data Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat (SIPBM) Kabupaten Brebes.
Di tingkat desa, relawan aktif menggugah kesadaran melanjutkan pendidikan. Kesadaran serupa ditumbuhkan pada orangtua dan lingkungan. Sebab, tanpa adanya dorongan motivasi dari orangtua dan lingkungan, anak tidak akan tergerak.
Lidya Alifi, relawan GKB di Desa Wanatirta, Kecamatan Paguyangan, mengatakan, SIPBM Kabupaten Brebes menjadi pijakan awal untuk program GKB. ”Dari data SIPBM, saya datangi dari rumah ke rumah. Dari 4 RW di Desa Wanatirta, ada sekitar 40 anak yang tak sekolah. Sembilan anak akhirnya mau, sedangkan sisanya sudah bekerja atau menikah dini,” tuturnya.
Menurut Lidya, kendala utama anak tak bersekolah adalah ketidakmampuan orangtua membiayai berbagai keperluan. Di Wanatirta, misalnya, mata pencarian mayoritas warga ialah buruh tani. Penghasilan petani perempuan yang bekerja pukul 07.00-12.00 sebesar Rp 15.000 per hari. Adapun jika suami-istri bekerja pun total upah hanya Rp 35.000 per hari.
Oleh karena itu, setelah program GKB bergulir, yang terus digalakkan adalah motivasi kepada anak, orangtua, dan masyarakat. ”Kami dorong agar jangan patah semangat. Orangtua juga kami motivasi karena bagaimanapun, mereka harus bertanggung jawab akan pendidikan anaknya. Cita-cita anak tidak boleh terhenti begitu saja,” jelas Lidya.
Kepala Bidang Pemerintahan, Sosial, dan Budaya Bappeda Kabupaten Brebes Khaerul Abidin mengatakan, pihaknya masih mendata jumlah anak tidak sekolah di Brebes. Namun, jika diambil dari sejumlah sampel, diperkirakan jumlahnya puluhan ribu anak.
”Karena itu, perlu upaya ekstra. Bersama semua pihak, kami akan terus mendorong Gerakan Kembali Bersekolah. Jadi, bukan sekadar intervensi, tetapi juga mendorong yang kuat secara bersama-sama,” kata Khaerul.
Ada empat alasan utama anak tidak bersekolah, yakni biaya, bekerja, motivasi rendah, dan tidak ada dukungan dari orangtua. Untuk itu, dukungan dari lingkungan sangat penting untuk menumbuhkan kemauan bersekolah anak.
Hal ini menjadi tantangan bagi Brebes. Dengan luas wilayah 1.662,96 kilometer persegi dan jumlah penduduk 1.796.004 jiwa, Brebes masih menjadi salah satu daerah dengan kemiskinan tinggi di Jateng. Keterjangkauan pelayanan dasar, termasuk akses terhadap pendidikan, menjadi masalah yang dihadapi di Brebes selama ini.
Director of Implementation Kompak Ted Weohau mengatakan, pihaknya memberi dukungan dalam bentuk pendampingan dan pengembangan kapasitas. ”Kami tidak memberi bantuan dalam bentuk uang,” ujarnya.
Dalam program ini, Kompak juga bekerja sama dengan sejumlah kementerian, antara lain Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Menurut Ted, Brebes bersama Kabupaten Pemalang dan Pekalongan dipilih sebagai proyek percontohan berdasarkan rencana pemerintah pusat melalui Bappenas pada 2016. ”Ini merupakan proyek percontohan peningkatan layanan dasar di garis depan. Kami ikut mendukung perbaikan tata kelola pendidikan,” ungkapnya.
Minister Counsellor Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia Fleur Davies mengemukakan, GKB terlaksana berkat komitmen kuat dari pemerintah, organisasi masyarakat, dan masyarakat sendiri. ”Praktik baik seperti ini diharapkan terus berlanjut di Brebes untuk meningkatkan pelayanan dasar masyarakat,” katanya.
Dengan dukungan APBD dan APBDesa Tahun 2018, Gerakan Kembali Bersekolah ditargetkan dapat mengembalikan 13.000 anak ke sekolah, yang terdiri dari sisa 6.510 anak ditambah 6.490 anak tidak bersekolah lainnya yang belum terdata. Kesuksesan memang tidak sepenuhnya bergantung pada pendidikan. Ada juga hal lain. Namun, dengan bersekolah, mereka lebih maju dalam pengetahuan.