MANADO, KOMPAS — Ekspor pala Siau dari Kabupaten Siau Tagulandang Biaro, Sulawesi Utara, ke sejumlah negara Uni Eropa ditolak. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, komoditas perkebunan itu telah tujuh kali mengalami gagal ekspor. Penolakan itu diduga akibat kadar aflatoksin yang tinggi dalam pala Siau.
Kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Utara Refly Ngantung di Manado, Selasa (29/5/2018), mengatakan, kegagalan ekspor itu memengaruhi harga pala Siau di tingkat petani. Saat ini, harga pala Siau turun menjadi Rp 53.000-Rp 55.000 per kilogram dari harga Rp 60.000 per kg pada 2017.
Menurut Refly, Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) telah mengeluarkan tujuh kali notifikasi ekspor untuk pala Siau, yakni enam kali tahun 2017 dan sekali tahun 2018. Kegagalan ekspor juga terjadi pada tahun 2015, yakni delapan kali. RASFF adalah sistem yang dimiliki Uni Eropa untuk melakukan deteksi terhadap keamanan makanan dan pakan yang masuk Uni Eropa.
”Kami masih mencari data volume pala yang gagal ekspor. Data itu ada pada eksportir,” kata Refly.
Bupati Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) Tonny Supit menduga, pala Siau telah dicampur dengan pala dari daerah lain yang memiliki aflatoksin tinggi. Aflatoksin adalah racun yang dihasilkan jamur.
Menurut Tonny, pala Siau telah mendapat pengakuan dunia sebagai pala berkualitas nomor satu. Ia menaruh curiga terhadap sikap pedagang yang mencampur pala untuk keuntungan sesaat tanpa memelihara citra asal pala.
Namun, ia mengatakan, penolakan ekspor pala Siau di Uni Eropa tidak memengaruhi perdagangan pala di daerahnya. Tonny menambahkan, penurunan harga pala di tingkat petani berkorelasi dengan perdagangan pala internasional yang kini lesu.
”Pala Siau selalu dipermainkan dan dicampur dengan pala daerah lain, bahkan beberapa kali pala Sangihe dan Maluku dibawa dengan kapal ke Siau, kemudian dikirim ke Bitung. Mereka melakukan kamuflase asal pala. Ini sudah kejahatan perdagangan,” tuturnya.
Selanjutnya, Tonny mengatakan, persoalannya adalah nyaris semua eksportir pala Indonesia melabeli produk mereka sebagai pala Siau. ”Ini sebabnya, pala Siau membutuhkan semacam tanda dari pemerintah daerah untuk menjamin pasar Uni Eropa bahwa komoditas yang mereka beli itu benar-benar pala Siau. Di pasar Uni Eropa, julukan untuk pala Siau adalah ’King of Spices’,” ujarnya.
Pemerhati pala di Siau, Johny Bokang, mengatakan, kandungan aflatoksin berasal dari tanah. Racun itu masuk ke buah pala yang jatuh ke tanah.
Menurut dia, petani pala di Siau melakukan panen dengan cara memetik di pohon, sedangkan buah yang jatuh dibiarkan busuk. ”Kalau di daerah lain, buah pala yang jatuh ke tanah masih digunakan untuk ekspor, jelas mengandung aflatoksin tinggi,” ujarnya.