Cabut 108 Izin Tambang
Sekitar 108 izin usaha pertambangan di Aceh tidak lagi beraktivitas. Kondisi ini membuat sejumlah pihak mendorong dilakukan pencabutan. Pemprov Aceh pun bakal menertibkan itu.
BANDA ACEH, KOMPAS - Gerakan Anti Korupsi Aceh mendesak Pemerintah Provinsi Aceh mencabut 108 izin usaha pertambangan secara kolektif. Selain karena masa berlaku sudah habis, izin tambang perusahaan-perusahaan itu dinilai tak memberikan dampak positif bagi daerah. Pencabutan dilakukan agar ada kepastian hukum terhadap izin tersebut.
Kepala Divisi Advokasi Gerakan Anti Korupsi Aceh Hayatuddin Tanjung di Banda Aceh, Selasa (29/5/2018), mengatakan, masa berlaku 108 izin usaha pertambangan (IUP) itu sudah berakhir. ”Seharusnya pemerintah langsung mencabut izin agar ada kepastian hukum,” ujarnya.
Sejak dikeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 tentang Moratorium Pertambangan, terdapat 138 perusahaan memiliki izin pertambangan di Aceh. Namun, tak semua perusahaan melakukan penambangan. Meski sudah mengantongi izin, banyak perusahaan tidak aktif.
Oleh sebab itu, kata Hayatuddin, pemerintah harus bersikap tegas, yakni mencabut secara kolektif izin yang sudah berakhir dan mengevaluasi izin yang masih berlaku. ”Kebanyakan perusahaan tambang menyisakan masalah, seperti tidak melakukan reklamasi dan tidak membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” ujarnya.
Tertunggak
Total kewajiban PNBP yang belum dibayarkan mencapai Rp 41 miliar. ”Semestinya Bank Indonesia memblokir rekening semua perusahaan yang masuk daftar perusahaan penunggak PNBP agar memberikan efek jera,” kata Hayatuddin.
Nilai Rp 41 miliar sebagai akumulasi utang dari 128 perusahaan, baik yang izinnya berakhir maupun masih berlaku. Perusahaan yang menunggak iuran itu bergerak di sektor tambang biji besi, emas, dan batubara. Meskipun kegiatan mereka baru pada tahapan eksplorasi, dalam PP Nomor 9 Tahun 2012 disebutkan perusahaan pemegang IUP dengan kegiatan eksplorasi wajib membayar iuran sebesar 2 dollar AS per hektar per tahun.
Ke-128 perusahaan tersebar di 14 kabupaten, yakni di Pidie (13 perusahaan), Pidie Jaya (2 perusahaan), Bireuen (2 perusahaan), Aceh Timur (9 perusahaan), Aceh Tamiang (6 perusahaan), Aceh Tengah (10 perusahaan), Gayo Lues (8 perusahaan), Aceh Jaya (13 perusahaan), Aceh Barat (16 perusahaan), Nagan Raya (12 perusahaan), Aceh Barat Daya (8 perusahaan), Aceh Selatan (13 perusahaan), Subulussalam (8 perusahaan), dan Aceh Singkil (8 perusahaan).
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh Mahdinur mengatakan, pihaknya akan segera membuat draf surat keputusan pencabutan kolektif dan mengajukannya kepada gubernur. ”Kami komitmen segera membuat draf SK pencabutan. Pencabutan ini merupakan upaya menata pertambangan agar lebih baik,” ujar Mahdinur.
Terkait piutang PNBP sebesar Rp 41 miliar, menurut Mahdinur, pihaknya akan meminta Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Wilayah Aceh menagih PNBP kepada 128 perusahaan itu. ”Iuran dari pemegang IUP menjadi penerimaan bagi negara. Kalau iuran tak dibayar, negara jelas rugi sebab izin penggunaan lahan sudah diberikan,” kata Mahdinur.
Iuran merupakan penerimaan negara dari bukan pajak. Sebesar 20 persen menjadi hak pemerintah pusat, 16 persen untuk pemerintah provinsi, dan 64 persen masuk ke kas pemerintah kabupaten sebagai daerah penghasil.
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Aceh Ilyas Isti menyatakan mendukung langkah Dinas ESDM Aceh dan para pihak memperbaiki tata kelola pertambangan di Aceh. Terkait IUP bermasalah, Ombudsman melihat persoalan itu sudah berlarut-larut, tetapi tak ada langkah tegas. Ombudsman telah beberapa kali turun ke lokasi tambang untuk mengadvokasi pelanggaran pertambangan. ”Ombudsman mendukung pemerintah mengeluarkan SK pencabutan IUP secara kolektif,” ujar Ilyas.
Konflik
Buruknya tata kelola tambang di Aceh memicu peningkatan konflik satwa seperti terjadi di Pidie, kerusakan hutan dan aliran sungai, hingga bencana alam. Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Aceh Rusli juga mendesak Pemprov Aceh dan aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelanggaran tambang. ”Selama ini terkesan ada pembiaran aktivitas tambang ilegal,” kata Rusli.
Sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Komisaris Besar Erwin Zadma mengatakan, polisi tidak tebang pilih dalam menindak pelaku tambang yang melanggar hukum. ”Bulan lalu, polisi menangkap enam pelaku tambang ilegal di dalam kawasan konservasi di Aceh Tengah,” jelasnya.
Sebelumnya, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengemukakan, pihaknya berkomitmen menjaga lingkungan dengan program Aceh Green. Salah satu langkah yang diambil Irwandi adalah menutup tambang emas ilegal di Pidie, Aceh Barat, dan Nagan Raya. Meski demikian, aktivitas pertambangan ilegal masih berlangsung hingga kini.