Demi Sensasi di Kepingan Surga
Secangkir kopi baru saja tersaji saat kabut datang. Seduhan minuman ditemani sepiring pisang goreng pun menghangatkan tubuh. Sore itu kian istimewa melihat hijaunya hutan dan birunya langit pegunungan Batukahu di Bali Utara.
Sensasi ngopi di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut bagaikan menikmati kepingan surga. Itu terekam sewaktu bertandang ke Kedai Ngiring Ngewedang di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali, Februari 2018.
Kopi dan wisata terseduh bersama. Bubuk kopinya diproduksi dari sebuah pabrik di Desa Banyuatis. Anak pendiri pabrik, Gede Pusaka Harsadena, mengelola kedai pegunungan tersebut.
Perpaduan itu bukan hanya di Banyuatis. Ada pula kawasan wisata kebun Agro Buana Amertha Sari di Jalan Raya Jurusan Tampaksiring, Kabupaten Bangli. Pengunjung bisa melihat tanaman kopi tengah berbuah, belajar menyangrai, lalu mencicipi seduhan dari hasil sangraian sendiri. Tersedia beragam pilihan rasa kopi, robusta dan arabika. Ada pula kopi rasa kelapa, kopi pandan, kopi moka, hingga kopi teh rosela. Di sepanjang jalan menuju Istana Tampaksiring berjejeran kebun-kebun wisata kopi.
Tradisional
Selain di Bali, sentra produksi kopi Ulee Kareng juga menjadi andalan pariwisata Aceh. Ada ratusan usaha kedai kopi saring kini memadukan seduhan tradisional dan modern. Etalase kedai menyediakan bubuk dan biji kopi siap jual, termasuk kaus-kaus kopi unik sebagai oleh-oleh.
Kalau menengok langsung pengolahan kuno kopi, wisatawan dapat mampir ke tempat usaha kopi milik Said Ali (86) dan Ida Arifin (49) di Desa Ie Masen, Kecamatan Ulee Kareng. Pengunjung dapat menyaksikan keseharian Ida dan para pekerjanya memproduksi kopi secara tradisional.
Mereka menggunakan peralatan yang sama sejak usaha dibangun tahun 1955. Semua peralatan tua, mulai dari alu-alu hingga tabung sangrai, masih bekerja hingga kini. Untuk menghaluskan biji kopi menjadi bubuk, perajin memanfaatkan sistem penumbukan yang disebut jeungki. Rangkaiannya terdiri atas sebuah balok penggenjot yang ditopang pada dua tiang kayu. Ujung balok dipasang alu. Setiap kali balok diinjak, alu tergerak naik dan turun menumbuk biji kopi di dalam lesung dari batu kali.
Bertahan dengan tradisi, rupanya sukses mendatangkan rezeki. Penggunaan rangkaian jeungki tua hanya tersisa di tempat usaha itu sehingga kerap membuat penasaran wisatawan untuk melihat langsung. Ida tak memasang tarif, wisatawan serelanya menyumbang untuk pekerja yang kebanyakan perempuan.
Eksotisme kopi tidak melulu di pabrik dan kedai. Di kebun-kebun tua, orang pun datang berbondong-bondong. Untuk apa? Untuk merasakan sensasi nikmat sekaligus repotnya jadi petani kopi. Para petani di sekeliling Danau Toba jeli melihat potensi itu. Mereka mengembangkan konsep pariwisata kopi.
Ketua Koperasi Lintong Ni Huta Gani Silaban mengemas perjalanan coffee trip ke kebun kopi tua peninggalan kakeknya. Wisatawan merasakan keseruan memetik buah kopi merah di tengah kebun. Dari kebun berusia satu abad itu, wisatawan pun diajak mengikuti proses mengolah biji kopi dan menikmati seduhan kopi Lintong sembari memandang indahnya Danau Toba, Sumatera Utara, dari kejauhan. Sebuah perjalanan yang istimewa.
Wisata berbasis kebun kopi dan panorama alam dikembangkan pula di Lerek, Gombengsari, sekitar 14 kilometer dari pusat kota Banyuwangi, Jawa Timur. Sejumlah petani merintis rumah singgah di kebun kopi. Salah satu pelopornya, Hariono Ha’o. Ketua Komunitas Wisata Kopi Lerek-Gombengsari (Lego) itu awalnya merintis pemanfaatan rumah dan kebunnya untuk menarik wisatawan tahun 2016. Rintisan itu rupanya diminati. Akhirnya, banyak warga setempat ikut membuka rumah singgah. Hingga Desember 2017, tercatat ada 13 keluarga petani kopi yang rumahnya menjadi homestay.
Tamu merasakan pengalaman baru menyusuri perkebunan kopi di tengah kampung. Suasana lebih akrab karena sangat mudah menemui dan mengobrol dengan petaninya langsung.
Geliat pariwisata kopi tidak hanya hidup di negeri penghasil biji kopi. Tak kalah semarak di daerah bukan penghasil, seperti Yogyakarta dan Pulau Belitung. Gairah nongkrong di kedai-kedai kecil di tepi jalan menjadi tradisi mahasiswa yang juga menarik wisatawan. Tak lengkap rasanya berkunjung ke Yogyakarta tanpa menongkrong sembari ngopi alias wedangan.
”Yogyakarta memang gila, tengah malam mahasiswa masih berdatangan di kafe. Hal ini tidak saya temui di Malang, Semarang, bahkan juga di Solo. Kalau tidak nongkrong, rasanya hidup bagaikan sayur tanpa garam,” kata Jatmika, pemilik kedai Legend Coffee di kawasan Kotabaru.
Bahkan, di Manggar, Belitung Timur, berdiri tegak sebuah tugu berbentuk ceret kopi atau disebut Tugu Ceret. Ketua Koperasi Kopi Manggar Ayung mengatakan, satu dekade terakhir, wisatawan ramai menyambangi kedai kopi. Pemilik kedai pun menawarkan aneka oleh-oleh, seperti kerupuk dan kopi.
Masa depan wisata dan kopi kian cerah. Petualangan dan keindahan alam berpadu menyempurnakan citra kenikmatan tersebut. (SIG/COK/NSA/AIN/IKI/ITA/GER/DIA)