KABANJAHE, KOMPAS Sebanyak 1.038 keluarga pengungsi bencana letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, tidak mendapat jatah hidup selama tujuh bulan sejak dipulangkan dari pos pengungsian. Pembangunan hunian tetap dan ladang untuk para pengungsi yang masuk program relokasi tahap ketiga tak kunjung dimulai.
Para pengungsi kini terpencar di sejumlah tempat, antara lain bekas Kampus Universitas Karo, permukiman di kawasan hutan lindung, dan sejumlah rumah kontrakan. Sebagian besar pengungsi bertahan dengan jadi buruh tani harian lepas.
”Kami dipulangkan dari pos pengungsian Oktober 2017 karena semua pos pengungsian ditutup,” kata Telge beru Sembiring (65) di bekas Universitas Karo, Kamis (31/5/2018).
Telge mengatakan, saat dipulangkan dari pos pengungsian, pemerintah berjanji akan memberikan jatah hidup sebagai pengganti biaya dapur pos pengungsian yang ditanggung pemerintah. Besaran jatah hidup Rp 10.000 per orang per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sebagian pengungsi kini tinggal di hunian darurat di bekas Kampus Universitas Karo di Kabanjahe. Ada lebih dari 100 keluarga hidup di bekas kampus yang merupakan bangunan tua terbuat dari dinding kayu dan beton tersebut. Mereka menyekat bekas ruang kuliah dan ruang dosen menjadi kamar-kamar kecil berukuran 4 meter x 4 meter. Di bilik kecil yang hanya dipisahkan terpal plastik itu, mereka melakukan aktivitas sehari-hari, mulai dari tidur, memasak, hingga menyimpan alat dan hasil pertanian.
”Meski pemerintah menyatakan saat ini tidak ada lagi pengungsi di pos pengungsian, hunian kami ini sebenarnya lebih mirip pos pengungsian,” kata Telge.
Telge mengatakan, ketika dipulangkan dari pos pengungsian, pemerintah memberi mereka bantuan sewa rumah Rp 4,2 juta dan sewa ladang Rp 2,2 juta per keluarga untuk satu tahun. Uang tersebut sebagian digunakan untuk membayar listrik dan air di gedung kampus Rp 160.000 per bulan per keluarga dan untuk biaya hidup sehari-hari.
”Kalau saja saya mengontrak rumah Rp 4,2 juta, saya mau makan apa lagi. Saya tidak bisa lagi jadi buruh tani,” katanya.
Pengungsi yang paling terdampak dari keterlambatan pemberian jatah hidup dan pembangunan rumah relokasi adalah kelompok lanjut usia. Selain Telge, Rasta beru Sembiring (63) juga harus hidup di hunian darurat tersebut. ”Saya bertahan dengan bertani di ladang sewa seluas 5 meter x 20 meter,” katanya.
Rasta menanam sawi di lahan yang ia sewa Rp 200.000 per tahun. Sejak pulang dari pos pengungsian, ia sudah panen dua kali. Ia memanen 40 kilogram sayur setiap tiga bulan. Dengan harga Rp 3.000 per kilogram, ia mendapat Rp 120.000 per tiga bulan dari lahan itu.
”Kami sadar tidak bisa sepenuhnya bergantung pada bantuan. Hasil itu lumayan untuk tambahan membeli beras,” katanya.
Relokasi tahap ketiga
Ketua Bidang Diakonia Gereja Batak Karo Protestan Pendeta Rosmalia Barus mengatakan, relokasi tahap ketiga mendesak untuk segera dilaksanakan. Sesuai janji pemerintah, relokasi itu seharusnya selesai tahun 2018, tetapi hingga kini pembangunan hunian belum dimulai. ”Ini harus dipercepat karena menyangkut hidup para pengungsi,” katanya.
Koordinator Forum Advokasi Sinabung Lesmawati Peranginangin mengatakan, Pemerintah Kabupaten Karo harus mempercepat relokasi tahap ketiga. Selain di bekas kampus tersebut, para pengungsi yang masuk rencana relokasi tahap ketiga juga merambah ke kawasan hutan lindung di Jalan Jahe, Kecamatan Naman Teran.
”Ada lebih dari 100 keluarga yang membangun rumah permanen di kawasan hutan itu. Mereka tidak punya pilihan karena proses relokasi sangat lambat,” katanya.
Menurut Lesmawati, relokasi tahap pertama dan relokasi tahap kedua hingga kini masih menyisakan banyak masalah. Relokasi tahap pertama telah dilakukan pada 2015 dengan membangun hunian tetap dan ladang untuk 370 keluarga.
Sementara itu, relokasi tahap kedua terhadap 1.682 keluarga telah dilakukan dengan memberikan bantuan Rp 110 juta per keluarga untuk membeli rumah dan ladang secara mandiri. Hingga kini masih banyak pengungsi yang menuntut diikutkan dalam relokasi tersebut karena data simpang siur.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo Martin Sitepu mengatakan, saat ini relokasi tahap ketiga masih tahap persiapan lahan. ”Kami masih berupaya agar pembangunan hunian tetap bisa selesai akhir tahun ini,” katanya.
Martin mengatakan, Pemerintah Kabupaten Karo belum bisa memberikan jatah hidup kepada pengungsi karena dana belum cair dari Kementerian Sosial. Martin pun menyatakan, pihaknya telah memberikan bantuan sewa rumah dan sewa ladang.
”Soal mereka memilih tinggal di bekas kampus, itu pilihan mereka,” katanya.