Kedamaian warga Surabaya sempat terkoyak akibat teror bom pada Minggu-Senin (13-14/5/2018). Namun, kurang dari satu pekan kondisi ”Kota Pahlawan” kembali normal. Aktivitas warga dan perekonomian bergeliat lagi.
Dua hari pascateror, Rabu (16/5/2018), warga Surabaya kembali bangkit. Warga serentak menolak terorisme di kota dengan masyarakat majemuk ini. Mereka menunjukkan ke dunia luar bahwa ”Arek-arek Suroboyo” tidak takut dengan teror. Spanduk-spanduk dipasang di sejumlah lokasi berbunyi antara lain ”Suroboyo Wani” dan ”Teroris Jancuk”.
”Selama ini kami membuka diri dengan warga dari mana pun latar belakangnya. Kami ingin hidup berdampingan meski berbeda. Kami tidak bisa menolerir jika ada pihak yang ingin mengusik kedamaian Surabaya,” ujar Srihartopo (32), warga Surabaya, Rabu (30/5/2018).
Arek Suroboyo terkenal guyub dan sangat mudah diajak berkolaborasi membangun sekaligus menjaga kota.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pun minta jajarannya membuat sistem deteksi dini terorisme. ”Saya tidak ingin Surabaya kecolongan,” katanya.
Sipandu
Maka, Selasa (22/5/2018), Risma meluncurkan aplikasi Sipandu atau Sistem Informasi Pantauan Penduduk. Pemantauan penduduk untuk mencegah terorisme dan radikalisme berbasis aplikasi ini dibuat untuk memudahkan ketua RT/RW dan pengurus rumah ibadah untuk melaporkan hal mencurigakan di lingkungan masing-masing.
Sistem dibuat tidak untuk memunculkan rasa curiga antarsesama warga. Justru dengan melaporkan keanehan, bisa meningkatkan sosialisasi antarwarga.
”Saya sedih kota ini diusik aksi bom sehingga pusat keramaian sempat sepi meski sekarang sudah normal. Padahal, semua program demi memuliakan warga sudah sesuai jalur. Demi warga Surabaya, saya cari anak putus sekolah, warga miskin, termasuk merawat ribuan orang dengan gangguan jiwa entah dari mana asalnya. Namun, ini terusik karena bom,” kata Risma, Rabu, dengan nada getir.
Hampir setiap hari sampai jelang Lebaran nanti, Risma akan mengunjungi pusat perbelanjaan, pasar tradisional sambil menyapa warga. Selain itu, setiap malam seusai berbuka puasa, dia bertemu rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) per kecamatan di 31 kecamatan.
Membangun sistem
Menurut pakar tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Johan Silas, dalam 10 tahun terakhir Surabaya tidak hanya membangun kota, tetapi juga membangun sistem. Surabaya selalu cepat melakukan perubahan. Karena itu, tidak perlu waktu lama bagi Surabaya untuk bangkit dari teror yang mendera dua pekan sebelum hari jadi ke-725.
”Semua warga merasa memiliki Kota Surabaya sehingga apa yang disuarakan Pemkot Surabaya selalu mendapat dukungan,” katanya.
Semangat seperti itu, menurut Johan, menjadi modal dasar untuk membuat Surabaya terus berbenah. Capaian yang ada terus ditingkatkan dan sistem yang dibuat pemerintahan Risma membuat warga terbiasa menjadi agen perubahan.
Bahkan, Surabaya kini menjelma menjadi salah satu kota besar di dunia setelah mendapat predikat Special Mention dari Lee Kuan Yeuw Award 2018 dan penghargaan Global Green dari PBB pada 2017. ”Selalu ada yang baru. Meski nanti berganti kepemimpinan, sistem dan sumber daya manusia yang ada sudah terbentuk dengan baik,” ucap Johan.
Bisa dibayangkan betapa pilu hati warga Surabaya ketika bom mengguncang karena pembangunan di Surabaya sudah sesuai jalur. Apalagi di Indonesia, Surabaya satu-satunya kota yang memiliki master plan sejak 1978 dan pada 2018 hampir seluruhnya terealisasikan.
Maka, di hari jadi ke-725 Surabaya yang jatuh pada 31 Mei 2018, meski hati warga masih pedih, semua lapisan masyarakat tetap bangkit untuk membangun dan mengawal kotanya. Arek Suroboyo jangan berputus asa dan menutup diri.
Di tengah perubahan, Surabaya harus tegar seperti penggalan pidato Presiden Soekarno. ”Kita ingin menjadi suatu bangsa yang seperti setiap hari digembleng oleh keadaan. Digembleng hampir hancur lebur, bangun kembali! Digembleng hampir hancur lebur, bangun kembali!!!”