Perlawanan di Pembuangan
Renta, rabun, dan encok menggerogoti hidupnya. Maut amat dekat dan menyeringai siap mencabut nyawanya. Di Tatar Sunda, dalam pembuangan oleh bangsa kaphe (kafir), di tepi jurang kematian, tanpa rencong kebanggaan yang telah disita, perempuan itu melawan. Demi bangsanya, tanah airnya; Nanggroe, Tjut Nyak Dhien membuktikan perjuangan tiada akhir, bernyali tanpa gentar apalagi pamrih.
Sambil menenteng lentera badai, perempuan berkerudung dan bersarung itu berjalan tertatih menuju dipan di panggung di hadapan 2.000 penonton dalam Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Selasa (29/5/2018) pukul 20.15 WIB. Layar latar kelabu nan kelam. Iringan solo selo menemani sutradara dan aktris Sha Ine Febriyanti mementaskan monolog ”Tjuk Nyak Dhien”.
Pelita ditaruhnya di depan balai-balai. Dhien duduk, menghela napas, dan menerawang masa lalu di Aceh dari tanah pengasingan di Sumedang. Mungkin itulah detik-detik Dhien mengikhlaskan jiwanya pergi menuju Sang Pencipta. Namun, sebelum nyawa tercerabut, Dhien meninggalkan cerita yang dalam tentang rakyatnya, kita, yang tak boleh tunduk terhadap penjajahan.
Langit di luar jendela itu bukan awang-awang yang selalu ia rindukan. Tak pernah bisa ia melupakan hutan yang gelap, pepohonan menjulang, akar menghujam, kukuh laksana para askar dan wira menyabung nyawa, jihad, fisabilillah mempertahankan bumi kelahiran dari para pengkhianat terlebih kaphe-kaphe yang biadab. ”Jika saja aku dibiarkan mati di tanah kelahiranku sendiri, betapa setia kusebut nama-Mu,” katanya.
Dhien masih ingat membisikkan hikayat saat menimang buah hatinya pada masa perang ketika sang suami Teuku Cek Ibrahim Lamnga lalu Teuku Umar bertempur melawan penjajah Belanda yang ingin menguasai Aceh. ”Seorang ibu yang membesarkan anaknya dalam masa perang adalah benteng terkokoh. Tak akan kubiarkan mereka tumbuh dalam rasa takut,” ujarnya.
Ia telah jauh dari anak-anaknya yang terus berjuang. Namun, Dhien yakin buah hatinya tak akan tunduk meski nyawa di ujung kepala dan siap minggat ke angkasa. Mereka akan selalu membela Nanggroe. Sebab di darah mereka mengalir darahnya. ”Dalam darahku mengalir darah Minangkabau yang tak kenal takut. Aku dan kalian anak-anakku adalah keturunan Makhudun Sati yang sejati,” katanya dengan lantang.
Ia mengingat saat berusia 12 tahun dinikahkan dengan Ibrahim, saat cinta belum dikenalnya, ketika tubuh perempuannya belum sempurna. Junjungannya itu keras, tegas, tegar. Namun, seliat hati sang suami, Dhien paham bagaimana melembutkannya. Dengan terbuai ketika Ibrahim melantangkan ayat-ayat suci Al Quran atau terinspirasi perjuangan Sultan Hasanuddin dan Pangeran Diponegoro. Mereka seperti rakyat Aceh yang menolak diperbudak oleh kaphe-kaphe. Namun, perjuangan kian berat karena pengkhianatan dan adu domba.
Darahnya mendidih mengingat pengecut bernama Teuku Neh yang memilih membantu Belanda demi harta benda dengan mengkhianati rakyat Aceh. Ia bersemangat menceritakan Ibrahim menggetarkan angkasa melawan musuh. Hari kelima pertempuran, Belanda disebutnya mengerahkan 17 kapal penuh serdadu dari Ambon, Minahasa, dan Jawa. Pasukan Ibrahim terdesak dan mundur ke pedalaman.
”Yang kucemaskan terjadi. Masjid Agung dibakar sehingga darahku berdesir dan tak mampu lagi aku menahan amarah. Aku kembali untuk melawan. Aku berteriak, rakyat Aceh, lihatlah anak-anak kita, perempuan-perempuan kita mereka bunuh dengan keji. Masihkah kalian mau tunduk di hadapan kaphe-kaphe, bangsa biadab itu?” katanya.
Perlawanan terus dikobarkan. Ibrahim tewas. Dhien amat sedih tetapi kemudian marah teramat sangat. Ia bersumpah terus berperang untuk mengusir Belanda meski telah kehilangan orang yang paling dicintainya. Perang ke perang. Hutan ke hutan. Gerilya ke gerilya. Ia penuhi janjinya karena kebenaran bahwa tidak boleh ada penjajahan termasuk dalam kehidupan bangsanya.
Ia mengingat sempat menolak lamaran Umar. Namun, Umar merupakan pejuang terhormat. Umar sejanji dengan sumpahnya mengusir kaphe dari Serambi Mekkah itu. Dhien bersedia menerima pinangan dan melanjutkan pertempuran melawan Belanda. Namun, setelah berbagai pertempuran, Umar tewas. Dhien kembali berduka tetapi enggan menyerah. Ia terus berjuang dari kedalaman rimba dengan sulitnya mendapat makan minum, pasukan dan senjata terus berkurang atau seadanya.
Bukan sekadar melawan kaphe dan kondisi amat sulit melainkan juga sengatan alamiah; kerentaan, kebutaan, dan kesakitan. Namun, apalah arti siksa ragawi dibandingkan dengan dua kali duka mendalam kehilangan cintanya. Itulah mengapa Dhien amat sulit dikalahkan meski fisik hampir ambruk dalam kondisi kehabisan sumber daya untuk terus perang.
Suatu malam pada tahun 1901 di kedalaman hutan, Dhien mendengar letusan. Semua gelap dan berakhir kelam ketika Pang La’ot yang teramat iba ternyata berkhianat. Dhien tak bisa menerima rasa iba itu. Ia diam dan berzikir pelan ketika perwira Belanda datang dan meminta Dhien menyerah. Dhien mengabaikan. Pang La’ot beringsut dan mendekat, tetapi tersentak dengan semburan amarah perempuan yang amat diagungkannya. ”Pengkhianat busuk! Lebih baik kasihani aku dengan menikamku mati,” ujarnya tegas.
Selanjutnya, Dhien sempat ditahan di Aceh. Kondisi fisiknya sempat membaik. Namun, Belanda khawatir, keberadaan Dhien di Aceh akan terus mengobarkan perlawanan rakyat. Untuk itulah, kaphe mengasingkan Dhien ke Sumedang. Di Tatar Sunda itulah Dhien dikebumikan dan sampai kini dikenang sebagai perempuan baja, Pahlawan Nasional dibanggakan.
”Barangkali, bagi kaphe-kaphe itu, perang ini sudah selesai. Namun, bagiku, perang ini masih jauh dari sudah selesai. Bahkan sampai pada anak cucuku nanti, mereka akan terus menghadapi kaphe-kaphe, pengkhianat, pengadu domba yang barangkali lahir dari bangsanya sendiri. Aku, perempuan yang akan terus merdeka dan tidak akan pernah tunduk kepada siapa pun yang menganiaya bangsanya,” ujarnya berdiri menebarkan inspirasi.
Di panggung itu, lampu dibiarkan tergeletak mungkin sebagai simbol nyala abadi patriotisme terhadap penjajahan. Plot dan latar tidak selalu buram. Adegan memang bukan peristiwa sebenarnya melainkan simbol-simbol dari pengalaman manusia. Di sana, Sha Ine mencoba mengomunikasikan gagasan atau ide dari kehidupan Dhien yang agung. Bukan sisi maskulin pejuang besar itu saat bertempur di kelebatan hutan melainkan sisi feminin yang manusiawi di bumi keterasingan tetapi dengan daya juang yang masih menyala.
Dari bangku belakang, gestur dan mimik ekspresi Sha Ine tentang Dhien sulit ditebak. Namun, dari tutur kata dan intonasi, dapatlah diintepretasi dan diapresiasi bahwa monolog itu enak dinikmati. Dengan keterbatasan penelitian tanpa pergi ke Nanggroe tetapi ke Sumedang, Sha Ine cukup berhasil memaksimalkan permenungan dan penghayatan mendalam sosok Dhien menjelang akhir hayat.
Panggung itu bukan layar yang menampilkan akting luar biasa Christine Hakim dalam Tjoet Nja’ Dhien yang kolosal, yang meraih Piala Citra 1988, yang menawan di Festival Film Cannes. Panggung itu mementaskan kesendirian, keterasingan, keterbuangan tetapi berbalut keagungan jiwa perempuan pejuang yang pantang menyerah. Ingatlah Tjut Nyak Dhien.