Sepuluh pemuda dengan terompet di tangan mengenakan baju koko, berpeci putih, serta sorban melilit di leher. Di bawah guyuran hujan, mereka memainkan irama lagu religi Islam, ”SurgaMau”. Mereka adalah pemuda Kristen Protestan.
Raan, warga yang berdiri memadati Jalan AM Sangadji, Kota Ambon, tempat digelarnya acara pada Sabtu (26/5/2018) malam itu, terkesima. Guyuran hujan deras tak mengusik mereka.
Acara tersebut merupakan inisiatif dari para pemuda lintas agama yang biasanya menggelar acara menjelang Natal dan Idul Fitri. Puncak acara yang berlangsung hingga Sabtu (27/5/2018) dini hari itu diisi dengan kolaborasi musik terompet dan toto buang (14 gong kecil) yang dimainkan oleh pemuda Kristen, sementara pemuda Muslim menabuh rebana. Mereka memainkan irama lagu lokal, ”Gandong”, dan lagu Islami berjudul ”Selawat Nabi”. Beberapa penonton meneteskan air mata haru.
Kala konflik sosial bernuansa agama pecah pada Januari 1999, lokasi acara malam itu merupakan titik paling rawan merenggut nyawa. Gereja Protestan Silo dan Masjid An Nur yang mengapit titik itu tak luput dari amukan massa yang diprovokasi.
Heny Noya, ibu rumah tangga yang tinggal tak jauh dari lokasi, datang mengantar anaknya, Patrick Noya (14), yang ikut menyumbang acara. Ia terharu melihat anaknya yang sudah mulai belajar menyatu dalam perbedaan.
”Siapa yang tak sakit? Rumah kami ikut terbakar. Tetapi, kita tidak bisa terus begini, kita harus mewariskan yang baik-baik untuk anak cucu kita,” katanya. Kala sedang hamil Patrick, Henny sempat berlari saat konflik yang perlahan reda kembali berkecamuk pada 2004.
Gery da Costa, koordinator acara tersebut, mengatakan, kolaborasi peniup terompet dengan penabuh rebana sudah sering dilakukan menjelang dan saat hari raya keagamaan. Misalnya, pada Natal tahun 2016 dan 2017, pemuda Muslim datang ke pelataran Gereja Protestan Rehoboth di kawasan Batugantung untuk berkolaborasi.
Tradisi tersebut untuk memperkokoh identitas Maluku sebagai negeri ”orang basudara” dalam tali relasi pela dan gandong. Pela dan gandong adalah hubungan persaudaraan antarawarga. Pela lewat angkat saudara, sedangkan gandong berasal dari satu rahim yang sama. Hubungan itu tidak memandang agama.
Maka, tak heran ada pantun ini, ”Ikang bakar deng sambal tarasi, makang ikang sampe bingong. Kalau bicara soal toleransi, Indonesia harus belajar dari katong”.