Sehari sebelum Lebaran, masyarakat Minangkabau yang tinggal di sejumlah nagari, seperti di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, memiliki tradisi unik memotong kerbau. Tradisi yang setiap tahun dilaksanakan itu merupakan ungkapan syukur kemenangan berpuasa selama satu bulan dan simbol gotong royong, kemandirian ekonomi, serta semangat berbagi.
Inilah tradisi Mambantai Adat. Disebut begitu karena penyelenggara penyembelihan kerbau adalah kaum adat atas restu kaum ulama.
Tradisi itu masih ditemukan, antara lain, di nagari-nagari di Kecamatan Sungai Limau. Sungai Limau berada sekitar 70 kilometer utara Kota Padang. Kecamatan ini memiliki empat nagari, yakni Guguak Kuranji Hilir, Koto Tinggi Kuranji Hilir, Kuranji Hilir, dan Pilubang, dengan dua Kerapatan Adat Nagari, yakni Kuranji Hilir dan Pilubang. Jumlah penduduknya sekitar 36.000 orang.
Sekretaris Camat Sungai Limau Anton Wira Tanjung, Minggu (3/6/2018), mengatakan, tahun ini, pemotongan kerbau salah satunya dilaksanakan di Masjid Lubuk di Nagari Kuranji Hilir. Kerbau-kerbau yang dipotong bisa sampai puluhan ekor. ”Sejak dulu, tradisi memotong kerbau ini sudah dilaksanakan. Kerbau dipilih karena kalau diolah menjadi rendang maka dagingnya lebih harum dan enak,” kata Anton.
Mengingat harga kerbau bisa mencapai Rp 20 juta-Rp 25 juta per ekor, warga berpatungan. Satu ekor bisa dibeli bersama-sama oleh 7-10 orang. ”Biasanya warga membawa pulang daging kerbau untuk dibagikan atau dijual lagi, termasuk ke kemenakannya, tetapi dengan harga yang jauh lebih terjangkau, misalnya Rp 50.000-Rp 70.000 per kilogram. Ini sangat membantu karena kalau beli langsung di pasar menjelang Lebaran sangat mahal, yakni lebih dari Rp 100.000 per kilogram,” kata Anton.
Selain itu, setelah dipotong, sebagian daging kerbau itu juga disisihkan untuk dimasak di masjid. Biasanya dibuat rendang. Warga sejak siang berkumpul di masjid untuk masak bersama-sama. Lalu, pada malam takbiran, warga beramai-ramai datang ke masjid untuk menggelar acara mandoa atau berdoa bersama.
Selain untuk dikonsumsi sendiri, rendang kerbau yang dimasak itu juga menjadi salah satu makanan yang dibawa ketika melakukan tradisi Manjalang Mintuo atau mendatangi mertua bagi pengantin perempuan. Selain pada momen Lebaran, Manjalang Mintuo juga dilakukan sebelum dan pada saat Ramadhan.
Menurut Anton, tetap mempertahankan tradisi memotong kerbau sekaligus menjaga keharmonisan antara nuansa kebudayaan dan agama di Minangkabau. Selain semangat gotong royong dan kebersamaan, tradisi ini juga baik bagi ekonomi. ”Selama ini, salah satu pendorong inflasi ialah harga daging yang tinggi. Kalau ini digalakkan di semua nagari, saya kira sangat baik karena harga daging bisa ditekan,” katanya.
Pengajar di Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Pramono, mengatakan, selain besar dan mahal, kerbau juga punya makna secara adat bagi masyarakat Minangkabau. ”Sifat dan karakter kerbau yang tidak pemarah, santai, bertenaga, pekerja disimbolkan kepada sikap pemimpin di Minangkabau. Oleh karena itu, pengangkatan penghulu mesti kerbau yang dipotong, bukan sapi atau kambing,” katanya.
Jika dibawa ke konsep kekinian atau dikaitkan dengan momen Lebaran, kerbau juga mewakili kesejahteraan dan rasa syukur atas rezeki yang melimpah. ”Selain itu kesetiakawanan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat kampung yang selama ini ’menabung’ atau memelihara kerbau. Momen Lebaran menjadi kesempatan untuk menjualnya,” kata Pramono. (Ismail Zakaria)