Tiga pemuda duduk melingkar di pelataran Mushala Al Amin, Jalan Anggrek Cakra, Rawabelong, Jakarta Barat. Hari itu, Kamis (31/5/2018) malam, hari ke-15 ibadah puasa di bulan suci Ramadhan baru saja dituntaskan.
Ketiganya adalah Joko (40), Eki (24), dan Arfan (26). Tak jauh dari mereka, di atas sebuah meja, terdapat potongan-potongan ketupat dan racikan semur dalam panci berbahan aluminium. Ketupat Qunutan namanya. Potongan-potongan ketupat itu tinggal tak seberapa, ditempatkan dalam baskom plastik dengan alat penjepit untuk mengambilnya.
Beberapa jam sebelumnya, seusai shalat Tarawih, sekitar 100 warga baru saja mengadakan syukuran bersama di mushala itu. Orang-orang makan bersama di mushala tersebut setelah didahului tahlilan bersama. Namun, ada juga yang membawa pulang makanan tersebut untuk dinikmati di rumah.
Ketupat berikut sayur dan semur itu berasal dari sebagian warga yang membawanya ke mushala. Sebagian lagi dibeli dari uang kas. Ada yang membuat sendiri ketupat dan sayur, berikut lauk lainnya seperti semur dan telur. Ada pula yang tinggal membeli jadi ketupat dan selanjutnya membuat sendiri sayurnya.
Semua dikerjakan bersama-sama untuk dinikmati beramai-ramai. Namun, baik Joko, Eki, maupun Arfan mengingat, tradisi itu bahkan jauh lebih ramai pesertanya tatkala mereka masih usia anak-anak. Hingga tahun 1990-an, sekitar 200 orang bisa datang berkumpul pada saat bersamaan untuk merayakan momentum tersebut. Selain di mushala, di hampir setiap rumah pun berlaku tradisi serupa. ”Sekarang pelan-pelan ’mati obor’, zamannya lain,” kata Arfan.
”Mati obor” yang dimaksudkannya ialah cenderung tidak adanya pewarisan kisah dan filosofi terkait tradisi tersebut dari orang-orang terdahulu. Sementara ”zaman lain” yang disebutnya merujuk pada keberadaan masyarakat Betawi yang kini sudah banyak pindah domisili dari wilayah DKI Jakarta.
Wilayah perkampungan di sekitar mushala itu, misalnya, kini lebih banyak dikelilingi kos-kosan. Ini membuat tingkat kesemarakan tradisi tersebut pada masa kini sangat bergantung pada jumlah penduduk lokal yang masih tinggal.
Selain di Mushala Al Amin, malam itu Ketupat Qunutan juga diselenggarakan di Mushala Al Malik yang berada di Jalan Salam 4, Rawabelong. Fahri (20) yang tinggal di permukiman tersebut mengatakan, tradisi itu sudah dijalankan warga sejak dirinya belum menginjak bangku SD.
Hari itu, ia turut mengantarkan ketupat yang dimasak keluarganya sejak pagi hari ke mushala untuk dinikmati bersama-sama. ”Kalau enggak ada gimana ya, enggak enak. Enggak afdal. Soalnya sudah bawaan dari dulu,” kata Fahri.
Disebut tradisi Qunutan karena malam itu juga menandai malam pertama pembacaan doa qunut di setiap rakaat terakhir shalat Witir. Sejak malam itu sampai malam terakhir Ramadhan, doa qunut akan selalu dibaca.
Ketua Mushala Al Malik, Marali (60), mengatakan, "tradisi ini sepanjang ingatan saya sudah berlangsung sejak zaman engkong-engkong (kakek kakek) saya dulu". Ia tidak mengetahui persis makna di balik tradisi tersebut selain berkumpul bersama untuk tahlilan dan makan ketupat bareng. ”Ngumpul dan persaudaraan makin erat,” kata Marali tentang makna yang dirasakannya.
Hal lain yang menandai Ketupat Qunutan dalam aspek ibadah, selain mulai dipergunakannya doa qunut pada rakaat terakhir shalat Witir, adalah pergantian bacaan surat dalam kitab suci Al Quran, dari Surat At Takatsur ke Surat Al-Qadr. Pergantian bacaan surat dalam kitab suci Al Quran ini, menurut Marali, bisa dimaknai menyambut turunnya malam Lailatul Qadr dengan penuh sukacita. Malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan.
Mohamad Ihsan, Wakil VI Bidang Pemuda dan Mahasiswa Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, mengatakan, makna Ketupat Qunutan adalah untuk kebersamaan. Kebersamaan itu di antaranya diwujudkan pula dengan membacakan doa bagi arwah orang-orang tua yang telah mendahului. (Ingki Rinaldi)