Keberagaman dan kedamaian ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Setidaknya konsep hidup itu yang diresapi warga Dusun Thekelan di kaki Gunung Merbabu. Petuah hidup rukun dari para leluhur diwarisi turun-temurun ke anak cucu agar keharmonisan tiga agama tetap terjaga.
Citro Sukarmin (36), pemangku agama Buddha di Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, semringah menerima selembar surat undangan buka puasa bersama yang diantar salah seorang warga, Sabtu (2/6/2018) pagi. Setiap tahun Citro menerima undangan buka puasa bersama itu dari pengurus masjid atau pemangku agama Islam di dusun. Buka bersama bertempat di Masjid Abu Bakr As-Siddiq keesokan harinya.
Buka puasa bersama juga dihadiri perwakilan warga, pemangku agama umat Nasrani, sesepuh dusun, tokoh masyarakat, dan mahasiswa yang sedang berkegiatan. Acara dikemas sederhana hanya makan dan bincang bersama. Namun, suasana begitu hangat nyaris tak disadari bahwa ini buka puasa lintas agama. ”Tradisi ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu guna merekatkan kerukunan,” ujarnya.
Dusun Thekelan terletak pada ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl) lereng Gunung Merbabu. Di dusun tertinggi ini terdapat tiga tempat ibadah peninggalan para leluhur, yakni Masjid Abu Bakr As-Siddiq, Wihara Buddha Bhumika, dan Gereja Thekelan. Mayoritas penduduk dusun beragama Buddha dan sebagian kecil Islam, Kristen, dan Katolik.
Nama Dusun Thekelan viral di media sosial sejak beredar video kerukunan umat beragama yang diunggah sejumlah netizen. Saat hari raya Waisak, Selasa (29/5/2018), ratusan umat Muslim dan Nasrani membentuk barisan di depan wihara untuk memberi ucapan selamat kepada umat Buddha. Sesepuh, orang tua, remaja, dan anak-anak saling berjabat tangan dan memohon maaf.
Dimas Jumali (16), salah satu warga, menuturkan, tradisi memberi ucapan selamat hari raya kepada umat agama lain yang sedang merayakan diajarkan kedua orangtuanya sejak kecil. Selain ucapan, mereka juga datang ke rumah warga untuk memperkuat tali silaturahim. Hal itu juga dilakukan saat hari raya Idul Fitri dan Natal. Selama ini dia belum pernah menemukan tradisi serupa di dusun atau daerah lain. ”Kata ibu dan bapak saya, kalau mau menyatukan Indonesia, harus menyatukan dusun dulu,” kata Dimas.
Untuk memeriahkan suasana, setiap kelompok agama dan komunitas warga biasanya membuat spanduk ucapan selamat hari raya yang ditempel dekat tempat ibadah. Sebanyak lima spanduk ucapan hari raya Waisak masih tertempel dekat wihara. Di spanduk berukuran juga tertulis pesan-pesan perdamaian dan imbauan memperkokoh keutuhan bangsa.
Hal serupa akan dilakukan saat hari raya Idul Fitri, 15-16 Juni. Pemuda perantau yang tinggal di luar Pulau Jawa akan pulang sehingga suasana makin ramai. Pada 16 Juni malam akan ada pertunjukan ketoprak yang dimainkan warga dan dangdut koplo. Pada Lebaran tahun lalu seniman Sujiwo Tejo datang menikmati pesta rakyat Dusun Thekelan.
Pluralisme
Kepala Dusun Thekelan Supriyo (43) mengisahkan, pluralisme di Dusun Thekelan sudah tertanam sejak tingkat keluarga. Tak jarang ditemukan dua atau tiga penganut agama berbeda dalam satu keluarga. Hal itu karena tradisi turun-temurun atau kebebasan dari orangtua. Meski demikian, rasa saling menghormati selalu dikedepankan agar damai selalu tercipta.
Puluhan tahun umat Islam, Nasrani, dan Buddha di Dusun Thekelan hidup berdampingan. Tak pernah ada perselisihan atau gesekan antarkelompok agama. Menurut Supriyo, dari total 220 kepala keluarga, sekitar 50 persen penganut agama Buddha, 30 persen Muslim, serta 20 persen Katolik dan Kristen. Agama Buddha pertama masuk ke Dusun Thekelan tahun 1960-an dibawa leluhur asal Kota Salatiga.
Ketiga rumah ibadah yang kini ada juga dibangun secara gotong royong. Warga tanpa memandang latar belakang agama secara sukarela membantu pembangunan masjid, wihara, dan gereja.
”Kemarin seratusan warga membantu meratakan tanah yang akan dibangun untuk pemindahan gereja. Kami tak sampai hati membiarkan umat Kristen harus saweran untuk sewa alat berat,” katanya.
Supriyo tak memungkiri pro dan kontra di antara warga kerap terjadi. Dialog dan musyawarah menjadi kunci untuk menyamakan persepsi dan tujuan menjaga kerukunan dusun. Keharmonisan itu menjadi kunci kebahagiaan warga Thekelan yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Keharmonisan juga menangkal terjadinya tindak kriminalitas sehingga warga dan pendatang merasa aman.
Sebagai salah satu jalur pendakian menuju Gunung Merbabu, Thekelan banyak dikunjungi wisatawan. Mereka kerap menitipkan motor di pos pendakian. Selain itu, dusun ini kerap dijadikan lokasi kegiatan live in oleh sejumlah sekolah. Siswa akan tinggal di rumah warga dan mengikuti kegiatan harian. Tujuannya agar mereka memahami kehidupan di perdesaan.
”Keharmonisan itu membawa keamanan di dusun. Ibaratnya, simpan motor dengan kuncinya tak akan hilang di sini, he-he-he...,” kata Supriyo menutup percakapan Sabtu sore.
Kala gejala segregasi warga kian menajam di kota-kota besar, saatnya bangsa ini belajar dari warga Thekelan. Mereka membuktikan toleransi dan keguyuban jadi akar serta filosofi asli Indonesia. Kearifan dan kesahajaan menumbuhkan harmoni.