Hari raya Idul Fitri adalah perayaan kemenangan. Kemenangan atas hawa nafsu yang berhasil dikendalikan selama menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
”Saya belajar dari bulan suci Ramadhan bahwa saudara-saudara Muslim berjuang untuk mengatasi godaan bukan hanya makanan, melainkan juga menahan diri untuk melakukan yang tidak benar,” kata Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Dr Henriette Tabita Hutabarat Lebang, MA, di Jakarta, Senin (11/6/2018).
Henriette lahir dan besar di Makassar hingga usia sepuluh tahun. Tinggal di lingkungan yang mayoritas beragama Muslim membuatnya terbiasa dengan suasana bulan suci Ramadhan dan Lebaran yang kental akan tradisi Makassar.
Setiap perayaan Lebaran, keluarga Henriette berkeliling untuk mengucapkan selamat Lebaran kepada tetangga-tetangganya. Tuan rumah menyediakan makanan seperti burasa (salah satu varian sajian nasi dalam bungkusan daun pisang yang direbus) dan opor, serta jajanan khas Makassar lainnya. Baginya berkunjung dan mengucapkan selamat Lebaran adalah suatu bentuk silaturahim.
Henriette mengatakan, suasana Ramadhan yang paling ia ingat adalah semangat berbagi dan rasa persaudaraan. Rumahnya akan selalu penuh dengan makanan yang diberikan tetangga yang sedang berlebaran. ”Bukan soal makanannya, melainkan juga simbol untuk merayakan bersama-sama. Jadi, walaupun bukan perayaan agama saya, kita rayakan bersama-sama,” ujarnya.
Ayah Henriette adalah seorang pendeta di Makassar. Ketika teman bermain Henriette sedang puasa, ia akan menahan diri untuk tidak minum di depannya. Hal ini sebagai bentuk solidaritasnya.
”Tidak terlalu banyak yang dikatakan oleh orangtua saya. Justru mereka mengajarkan melalui tindakan, setiap orang disapa dan tidak pernah membedakan orang lain,” ujar Henriette. Saat keluarga Henriette merayakan Natal, tetangganya akan berkunjung ke rumah Henriette untuk mengucapkan selamat Natal.
Tradisi dan budaya
Henriette mengatakan, tradisi dan budaya saat Ramadhan dan Idul Fitri itu menunjukkan identitas bangsa ini. Misalnya tradisi mudik yang dinilai Henriette merupakan bentuk memperkuat tali silaturahim.
Masyarakat Indonesia yang nilai-nilai kekeluargaannya relatif masih kental bahkan rela menembus kemacetan, antre panjang, membeli harga tiket mahal, dan berdesak-desakan. Mudik Lebaran menjadi tradisi yang dipelihara untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga.
Henriette berpendapat, momen Lebaran merupakan kesempatan untuk meminta maaf secara lahir dan batin antarseluruh elemen bangsa. Semangat persatuan dan gotong royong dalam Pancasila perlu dan bisa semakin dipupuk.
”Walau kita berbeda agama, budaya, dan suku, ternyata kita bisa saling mengunjungi, saling menerima, serta saling berbagi sukacita di bulan Ramadhan dan Lebaran ini,” kata Henriette. (E01)