SURABAYA, KOMPAS - Tujuh anak pelaku terorisme peledakan bom di tiga gereja di Surabaya kini dalam pembinaan organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama, organisasi perempuan di bawah NU. Resminya, mereka di bawah pengawasan Pemerintah Kota Surabaya bekerja sama dengan Polri, tetapi upaya deradikalisasi dilaksanakan Fatayat NU Cabang Surabaya.
Ketua Fatayat NU Cabang Surabaya Siti Musfiqoh, Senin (11/6/2018), mengatakan, ”Ada kemajuan, tetapi hasilnya tidak mudah dipastikan. Keterlibatan Fatayat dalam hal ini karena perlu pengetahuan agama yang memadai dalam menangani ketujuh anak itu.”
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, penyebab tindakan terorisme adalah kemiskinan. Hal itu berdampak pada tiadanya pendidikan formal bagi anak-anak itu. Padahal, sekolah di Surabaya gratis. Ada persepsi sepihak dari orangtua dan kemudian diyakini anak-anak itu bahwa negara adalah jahat dan harus dihancurkan.
Risma berencana mengunjungi anak pelaku terorisme yang masih dirawat di RSUD Bhayangkara Surabaya, Selasa (12/6/2018).
Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin dalam kesempatan lain mengatakan, setelah aksi terorisme kini muncul tanggung jawab baru, yaitu penanganan anak-anak teroris. Perlu segera dicari metode untuk melakukan upaya deradikalisasi mengingat anak-anak itu merupakan korban pendidikan salah dari orangtua.
Belum ada standar
Musfiqoh menyatakan, tujuh anak teroris yang orangtuanya sudah meninggal itu kini di bawah pengawasannya. Setiap siang ia melakukan kunjungan ke RSUD Bhayangkara didampingi Unit Perempuan dan Anak Polri dan Densus 88. Namun, Musfiqoh mengatakan tidak diizinkan membuka identitas mereka.
Yang pasti, semua anak itu pada usia pendidikan dasar. Paling tua berusia 12 tahun dan paling muda 7 tahun. Seluruh anak itu belum mengenal sekolah formal, kecuali sekolah di rumah (home schooling). Namun, pendidikan yang mereka dapatkan tidak sama dengan home schooling normal. Akibatnya, mereka memahami kehidupan tidak seperti anak normal.
”Sampai sekarang belum ada standar pendidikan deradikalisasi pada anak, bagaimana metode pendidikannya, serta bagaimana ukuran keberhasilannya,” ujar Musfiqoh.
Karena itu, Musfiqoh melakukan upaya deradikalisasi dengan mengambil peran sebagai ustadzah. Ia mengajak anak-anak itu berinteraksi sebagai kakak dan adik. Mereka berasal dari tiga keluarga, dua keluarga meninggalkan tiga anak, dan satu keluarga meninggalkan satu anak.
”Saya berusaha memancing opini mereka tentang suatu topik, misalnya cita-cita mengebom. Lalu berusaha mengoreksi dengan menunjukkan ayat-ayat lain sebagai pembanding. Saya mendorong mereka menemukan pemikiran mereka sendiri bahwa cita-cita mengebom itu salah,” katanya.