MANADO, KOMPAS - Harga kopra yang menopang sebagian petani di Sulawesi Utara jatuh ke titik terendah, yakni Rp 3.500 per kilogram. Bahkan, jatuhnya harga kopra ini diikuti pula merosotnya harga biji kelapa menjadi Rp 1.000 per buah dari sebelumnya sekitar Rp 2.600 per buah.
Sejumlah petani menyebut jatuhnya harga kopra dan kelapa butir disebabkan permainan pedagang pengumpul yang terlalu menekan harga di tingkat petani. ”Banyak pedagang yang datang menawarkan harga Rp 3.500 per kilogram,” kata Daniel Karundeng, petani kelapa di Minahasa Utara, Selasa (12/6/2018).
Menurut Daniel, pedagang menekan harga kopra tingkat petani secara periodik setiap bulan dari Rp 6.000, Rp 5.000, Rp 4.000 hingga Rp 3.500. Tekanan harga itu menjadikan banyak petani beralih menjual kelapa butir. Hal itu pun menjadikan petani tidak memiliki untung dalam rantai perdagangan kopra. Untuk beli beras saja tidak cukup.
”Artinya, harga kopra hanya sepertiga dari harga 1 kilogram beras. Kopra sekarang nyaris tak bernilai,” katanya. Pada dekade 1970-an harga kopra sekitar Rp 1.000, saat itu harga beras Rp 350-Rp 500 per kg.
Dikatakan produksi kopra 1 kilogram setara dengan empat butir kelapa. Biaya produksi itu masih ditambah dengan upah pekerja, pemanjat, dan pengasapan. Idealnya harga kopra sekitar Rp 7.000 sehingga petani dapat menikmati untung. Akhir tahun 2017, harga kopra mencapai Rp 10.000 per kg.
Akan tetapi, Dogmapudi Mangetik, pedagang kopra antarpulau di Talaud, mengatakan, gerak fluktuatif harga kopra dalam 6 bulan belakangan membuat banyak pedagang rugi. Ketika pedagang membeli harga kopra Rp 6.000, harga penjualan di pabrik telah turun menjadi Rp 5.800.
”Banyak pedagang rugi sehingga mereka membeli harga di petani lebih rendah dengan pertimbangan biaya penyusutan dan transportasi,” katanya.
Dikatakan kerugian pedagang disebabkan harus membayar biaya transportasi antarpulau dari Talaud ke Bitung serta biaya penyusutan mencapai 30 persen. Kopra yang sampai di Bitung juga belum bisa langsung dibongkar karena harus menunggu lima hingga tujuh hari antrean disebabkan gudang kopra penuh.
Kabid Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sulut Hanny Wajong mengatakan, fluktuasi harga kopra di tingkat petani dipicu produksi kopra Sulut tahun ini meningkat 50 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan produksi itu disebabkan musim hujan tahun 2017 membuat produksi kelapa bertambah banyak. ”Hukum ekonomi seperti ini, produksi melimpah harga pasti turun. Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi harga,” katanya.
Ketua Kadin Sulut Hangky Gerungan mengatakan, penurunan harga kopra memunculkan keresahan sosial mengingat sekitar 60 persen petani di Sulut hidup dari komoditas kopra. Karena itu, pemerintah provinsi perlu bertindak mencegah permainan harga di tingkat pedagang pengumpul ataupun agen pembeli kopra. ”Permintaan kopra selalu tinggi, tetapi kenapa sekarang turun drastis. Pemerintah perlu turun tangan,” ujarnya.