Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya memaknai bulan suci Ramadhan sebagai suatu momen peningkatan daya spiritual. Harapannya, dengan introspeksi diri selama berpuasa, kebesaran hati seseorang dapat semakin terbentuk. Hal itu, menurut dia, penting supaya pikiran dapat semakin diselaraskan dengan hati. Selain itu juga agar dapat diserasikan dengan cipta, rasa, dan karsa manusia.
”Dengan hati kita harus berhati-hati supaya tidak tertusuk dan tidak banyak orang sakit hati,” kata Wisnu saat ditemui Kompas di Jakarta, Kamis (14/6/2018).
Masa kecil Wisnu dihabiskan dengan interaksi bersama beragam identitas manusia. Pemahaman mengenai keberagaman dan bagaimana merangkainya dalam hubungan yang penuh toleransi diterimanya sejak masa kanak-kanak. Wisnu tinggal di Asrama Brimob Polda Bali hingga usia dua belas tahun. Ayahnya berprofesi sebagai salah seorang anggota polisi. Pengalaman masa kecilnya tumbuh di lingkungan dengan beragam suku, budaya, dan agama pun lengkap ia temui. Hal itu yang membuat Wisnu berpikir secara lebih universal. ”Kehidupan serta karakter dan adat istiadat yang beragam itu sangat luar biasa saya rasakan. Kita (jadi) bisa memaknai hidup itu sendiri,” kata Wisnu.
Tentu saja, di dalamnya terekam pula ingatan tentang perayaan Idul Fitri. Bagi Wisnu, momen Lebaran yang paling diingat tatkala masih bocah adalah berkunjung ke rumah-rumah tetangga; bersilaturahim dan saling mendoakan. Begitu pun sebaliknya. Tatkala Wisnu merayakan hari besar agama Hindu, para tetangga akan datang ke rumahnya dan memberikan ucapan.
Terkait pemahaman mengenai kehidupan beragama, ayahnya kerap mengobrol bersama Wisnu dan saudaranya. Kuncinya adalah menghargai dan menghormati perbedaan yang ada pada diri orang lain. Rasa toleransi tinggi Wisnu terbentuk semakin kuat melalui didikan orangtua dan lingkungan tempat tinggalnya. ”Waktu kecil, saya diberi tahu orangtua istilah desa mawa cara (bahwa setiap desa atau daerah memiliki tata cara atau adat tersendiri), (maka) saya harus menyesuaikan diri. Bisa menempatkan diri dan saling menghormati. Itu seperti sudah mendarah daging dalam diri saya,” kata Wisnu.
Menurut Wisnu, bulan suci Ramadhan merupakan saat untuk menebarkan kebaikan. Wisnu menjelaskan, pada bulan suci ini kebaikan harus disebarkan ke mana pun dan dalam kondisi apa pun. Pada gilirannya, hal-hal yang baik itu akan saling menumbuhkan. Alamnya juga menjadi baik serta menyegarkan. Pikiran menjadi tenang, suci, tenteram, dan damai.
Selain ditebarkan, kebaikan atau dharma itu juga harus selalu ditumbuhkan dalam diri sendiri. Pengendalian diri ke jalan yang benar pada bulan suci Ramadhan diharapkan dapat membuat seseorang kembali pada diri sendiri dan mampu mengendalikan dirinya. ”Kita (seperti) diingatkan kembali, dulu saat masih di janin ibu, kita ini suci. Pada Idul Fitri, lalu kita mudik untuk bertemu dan sungkem (memohon maaf) kepada ibu,” kata Wisnu.
Wisnu berpendapat, keindahan tradisi Lebaran di Indonesia, seperti saling berkunjung, bersilaturahim, dan berbagi ketupat opor, menunjukkan bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendiri. ”Bukan perkara material makanannya. (Tapi diingatkan bahwa dalam hidup) Kita saling memberi dan berbagi bahwa (dalam) hidup ini tidak bisa sendiri. Kita hidup bekerja sama. Energi ini kuat, terutama spirit kepada Tuhan,” kata Wisnu. (E01)