Senin (11/6/2018) malam. Puluhan susunan tempurung kelapa terbakar berjajar rapi di pekarangan hampir setiap rumah warga di Dusun Parit, Desa Jeranglah Rendah, Kecamatan Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu.
Nyala dari bakaran tempurung itu seolah menjadi penerang jalan desa di tengah gelapnya malam. Bakaran tempurung itu menjadi pertanda tradisi ”Nujuhlikur” telah dimulai.
Tradisi Nujuhlikur adalah tradisi turun-temurun di Bengkulu Selatan yang selalu diperingati pada malam ke-27 bulan suci Ramadhan. Sementara membakar tempurung disebut juga sebagai ”Marak Lunjuk”.
Susma Listi (47), salah seorang warga, meniup bara di tempurungnya agar api tetap menyala. Api itu akan merambat hingga tempurung habis. Tidak hanya Susma, anak-anak pun tampak antusias melakukan hal yang sama.
Tempurung-tempurung kelapa itu disusun di pekarangan depan rumah. Tempurung kelapa yang telah dilubangi di bagian tengah akan disusun secara vertikal pada sebuah batang kayu sengon hidup yang digunakan sebagai tonggak. Penggunaan kayu sengon hidup bertujuan agar kayu tidak ikut terbakar saat tempurung dibakar. ”Biasanya, tempurung mulai dibakar seusai berbuka puasa,” kata Susma. Selain digelar pada malam ke-27, tradisi ini juga digelar saat malam terakhir Ramadhan atau diadakan pada saat malam takbiran.
Relatif tidak sulit untuk mendapatkan tempurung kelapa karena banyak warga memiliki tanaman kelapa. Kelapa digunakan untuk memasak. Sementara tempurungnya diambil. ”Di desa ini, tempurung kelapa juga dijual. Sisanya sengaja dipersiapkan untuk acara ini,” kata Susma.
Tokoh masyarakat Desa Jeranglah Rendah, Zainal, menerangkan, tradisi Marak Lunjuk pada momen Nujuhlikur ini diajarkan oleh nenek moyang mereka. Tradisi tersebut muncul dengan berbagai alasan, utamanya untuk memeriahkan suasana menyambut Lebaran.
Dulu, ujar Zainal, banyak desa di Bengkulu Selatan belum teraliri listrik. Karena itu, untuk menyambut Lebaran, warga membakar tempurung agar suasana menyambut Lebaran semakin meriah. Tempurung kelapa dipilih menjadi bahan baku karena jumlahnya pada saat itu sangat berlimpah.
Selain membakar tempurung atau Marak Lunjuk, tradisi Nujuhlikur juga diperingati dengan berbuka puasa bersama di masjid. Ini ditandai dengan menyantap sajian makanan secara bersama-sama. Warga membawa makanan dari rumah dan menyantapnya bersama seusai shalat Tarawih.
Tradisi ini, lanjut Zainal, diterapkan di sejumlah wilayah terutama yang didiami warga suku Serawai. Itulah sebabnya tradisi ini juga ada di beberapa kabupaten di Bengkulu, seperti di Kabupaten Seluma, Kabupaten Kaur, dan Kota Bengkulu.
Namun, seiring berkembangnya zaman, tradisi ini mulai memudar. Zainal mengatakan, mulai lunturnya tradisi tersebut karena pola pikir masyarakat sudah berubah. ”Biasanya, di daerah yang sudah teraliri listrik dan banyak penerangan, tradisi ini sudah jarang ditemukan,” kata Zainal.
Dahulu, di dalam satu rumah bisa ada lima sampai tujuh susunan tempurung yang ditempatkan di sekeliling rumah. Saat ini, dalam satu rumah paling banyak tiga susun tempurung kelapa saja. Bahkan, di beberapa rumah, tradisi ini tidak dilakukan lagi.
Keberadaan tempurung kelapa untuk dibakar yang juga sudah relatif terbatas menjadi alasannya. Hal ini lantaran kebanyakan warga lebih memilih menjualnya daripada membakarnya. Pasalnya, harga tempurung kelapa relatif bernilai ekonomis bagi warga. Kini, harga tempurung kelapa sekitar Rp 500 per kilogram. ”Karena sudah banyak dijual, keberadaannya pun sulit ditemukan,” kata Zainal.
Anggota DPRD Bengkulu Selatan, Surhan Uyup, mengatakan, agar tradisi ini tidak hilang, idealnya warga terus diingatkan untuk merayakan Nujuhlikuran dengan Marak Lunjuk di rumah masing-masing. Menurut dia, upaya mengingatkan warga juga bisa dilakukan oleh para pengurus masjid di Bengkulu Selatan. Ia menilai, tradisi ini merupakan sebuah kebudayaan lokal yang harus terus dilestarikan.