Menjelang sore hari, Minggu (10/8/2018), Kartibi (64) mengangkat baskom berisi bubur sop dari dapur Masjid Al Mahmudiyah atau Masjid Suro, Palembang. Lengan keriputnya tampak kuat mengangkat baskom seberat hampir 6 kilogram. Bubur sop tersebut akan disajikan sebagai menu utama saat berbuka puasa. Setelah bubur sop diletakkan, sejumlah warga meminta bubur itu untuk dimakan di rumah. Mereka membawa wadah. Kartibi pun menuangkan bubur ke dalam wadah yang disodorkan. Kegiatan seperti ini menjadi kegiatan rutin yang dilakukan Kartibi selama bulan suci Ramadhan.
Kartibi adalah satu-satunya juru racik bubur sop di masjid yang didirikan oleh KH Abdul Rahman Delamat tersebut. Ilmu membuat bubur ia dapat dari sang istri, Hindun (67), yang sudah lebih dulu menjadi juru masak bubur sop. ”Sekarang, istri saya sedang sibuk mengurus cucu, jadi tugas untuk membuat bubur saya yang lanjutkan,” katanya. Hingga kini, sudah 11 tahun Kartibi menjadi juru racik bubur sop tersebut.
Butuh ketelatenan dan ketekunan untuk membuat bubur. Beragam bahan dipadukan di dalam baskom berdiameter sekitar 30 cm itu. Bahan yang digunakan adalah 3 kilogram (kg) beras, 12 liter air, dicampur dengan tetelan daging sapi sebanyak 2,5 kg, dan sejumlah rempah, seperti kemiri, laos, bawang merah, dan bawang putih. Kartibi membutuhkan waktu sekitar 3,5 jam untuk membuat bubur sop tersebut. Selama itu, Kartibi harus terus mengaduk buburnya agar tidak menjadi nasi.
Sore itu, sembari melayani warga yang meminta bubur, pengurus yang lain menata tempat untuk persiapan berbuka. Ada sekitar 100 piring bubur yang disediakan. ”Saat awal puasa, biasanya disediakan 300 piring bubur. Namun, mendekati akhir Ramadhan jumlahnya akan berkurang,” kata Kartibi. Salah satu pengurus masjid, Hasyim, kemudian menuangkan bubur sop ke setiap piring yang telah disajikan. Selain bubur sop, menu yang dihidangkan saat itu adalah kurma, gorengan, buah semangka, dan makanan khas Palembang, pempek.
Menu tersebut disusun rapi di lantai teras masjid yang dibangun pada 1889 itu. Suasana kian khidmat dengan lantunan ayat-ayat suci Al Quran yang dikumandangkan para jemaah. Pukul 17.30, beberapa orang mulai berdatangan mengambil tempat yang sudah disediakan. Saat buka puasa pun tiba. Sambil bersila, mereka menyantap makanan yang disediakan.
Setelah selesai bersantap, para tamu segera mengambil wudu untuk menjalankan shalat Maghrib. Juanda, salah seorang anggota jemaah berujar, tradisi ini ia jalani hampir setiap tahun. ”Setiap buka puasa, saya selalu menyempatkan diri hadir. Selain untuk menyantap hidangan yang hanya ada saat Ramadhan, tradisi ini juga mengeratkan tali silaturahim antarsesama,” kata Juanda.
Ketua Pengurus Masjid Abdul Latif berujar, tradisi yang diciptakan para ulama ini sudah ada 20 tahun terakhir. ”Untuk Muslim, sajian ini untuk hidangan berbuka. Namun, bagi yang tidak berbuka, tradisi ini merupakan bentuk syiar agama,” ujarnya. Nilai yang terkandung dalam tradisi ini adalah membiasakan diri untuk berbagi. Semua bahan baku yang disediakan merupakan hasil dari sumbangan warga.
”Para dermawan menyumbangkan beras, daging, rempah, gorengan secara gratis untuk dibagikan bagi yang ingin berbuka. Bahkan, ada pengusaha pempek yang menyumbangkan 200 buah pempeknya per hari secara gratis sepanjang bulan suci Ramadhan. Selain menanamkan nilai berbagi, ujar Abdul, tradisi ini juga menanamkan nilai gotong royong. Hal ini terlihat dari usaha warga yang secara sukarela menyiapkan hidangan serta membereskan hidangan setelah berbuka.